Senin 14 May 2018 09:49 WIB

Bagaimana Anak-Anak Dilibatkan dalam Aksi Teror?

Tren pelaku aksi teror yang berhasil ditangkap polisi memang cenderung lebih muda

Rep: Sri Handayani/ Red: Budi Raharjo
Tim Inafis melakukan olah TKP di lokasi ledakan di Gereja Kristen Indonesia (GKI), Jalan Diponegoro, Surabaya, Jawa Timur, Ahad (13/5).
Foto: Antara/Didik Suhartono
Tim Inafis melakukan olah TKP di lokasi ledakan di Gereja Kristen Indonesia (GKI), Jalan Diponegoro, Surabaya, Jawa Timur, Ahad (13/5).

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Rentetan bom bunuh diri di tiga gereja di Surabaya kemarin diduga dilakukan oleh satu keluarga. Selain ayah dan ibu, empat orang anak diduga terlibat dalam aksi tersebut.

D (ayah) diduga meledakkan diri menggunakan kendaraan roda empat berjenis Avanza di Gereja Pantekosta. P (ibunya) dan dua anak perempuan, yakni FS dan PA meledakkan diri sembari memeluk petugas di Gereja GKI. Bom bunuh diri lain di Gereja Santa Maria tak Bercela diduga dilakukan oleh dua anak lelaki mereka.

Dua anak lelaki D dan P masih berusia 18 dan 16 tahun. FS dan PA lebih muda lagi, yaitu 12 dan sembilan tahun. Bagaimana keempat anak ini bisa terlibat dalam aksi teror?

Psikolog Universitas Indonesia yang mendalami masalah terorisme, Mira Noor Milla, mengatakan tren pelaku aksi teror yang berhasil ditangkap polisi saat ini memang cenderung lebih muda. "Aku lihat trennya di narapidana kasus terorisme itu yang di lapas kecenderungannya semakin ke sini usianya semakin muda. Jadi kalau dulu berkisar 20-an ke atas, sekarang sudah 14, 15, 16 (tahun)," kata dia.

Sebagian anak-anak dan remaja itu merupakan tenaga kerja wanita (TKW) yang telah mengais rezeki sejak belia di luar negeri. Mereka umumnya berpendidikan rendah. Mereka menempuh wajib belajar hingga tingkat sekolah menengah pertama (SMP).

"Anak-anak itu SMA, SMP, lulus SMP, masuk SMA, mereka ini rentan karena sedang dalam proses pencarian identitas," kata Mira.

Mira menyebut keterlibatan mereka bisa diawali karena "salah gaul". Ada yang berawal dari keisengan mengakses konten ideologi radikal di internet. Dari situ mereka tertarik karena memiliki teman diskusi dengan ketertarikan yang sama. Mereka lalu bertemu dan dikenalkan dengan jaringan terorisme. Mereka pun terlibat di dalamnya.

Keterlibatan ini membuat mereka merasa penting. Mereka yang awalnya merasa diri gagal, bermasalah, dan tak mempunyai peran dalam kehidupan sekitar, kemudian mendapatkan peran nyata yang dianggap hebat.

"(Merasa) jadi pejuang Islam memperjuangkan agama Allah, hebat banget," ujar dia.

Beberapa anak yang sempat ditemui Mira memiliki latar belakang keluarga yang berafiliasi kepada kelompok teroris. Oleh keluarganya, ia dibawa ke Suriah. Di sana anak ini bergaul dengan anggota jaringan yang lain. Dari mereka, anak itu memiliki kemampuan merakit senjata. Ia juga mampu bertempur, meski usianya kini diperkirakan baru menginjak 13 tahun.

Semenjak kecil, ia diajarkan bahwa kemahiran berperang dan merakit senjata adalah bukti kehebatan. Semua yang dianggap melawan Islam, yang tidak sesuai dengan pemahaman keislamannya, harus dilawan. Tak ada lingkungan lain yang bersinggungan dengannya. Tak ada pula alternatif pemikiran lain yang ditawarkan kepadanya.

"Enggak ada hal lain yang pernah diajarkan ke dia selain itu," tutur Mira.

Doktrin ini tampak tak begitu kuat tertancap pada diri sang anak. Saat ditanya apakah apa yang dilakukan dan diajarkan kepadanya sesuai dengan ajaran Islam, ia menunjukkan keraguan.

"Kalau saya tanya menurut (kamu) Islam gitu enggak? (Jawabnya) Harusnya enggak gitu, kan kalau kayak gitu tuh kejam, ekstrem," cerita Mira.

Sayangnya, sebagai anak ia belum mampu mengkritisi pemikiran itu. Jikapun dirinya memiliki sikap kritis terhadap pemahaman keliru yang diajarkan kepadanya, ia tidak memiliki acuan tentang pemahaman yang lain.

Mira juga memiliki pengalaman lain dengan seorang anak yang diperkirakan kini berusia 14 tahun. Ia menyebut anak ini merupakan putra pimpinan ISIS yang ditahan bersama kedua orang tuanya di Rutan Mako Brimob.

"Secara ideologi dia nggak frontal, tapi kuat pemahaman ideologinya," ujar dia.

Menurut Mira, sangat sulit mengeluarkan anak ini dari pemahaman radikalnya. Sebab, ia masih berada dalam satu rutan bersama orang tuanya. Anak ini juga memiliki emosi yang stabil dan tidak mengalami konflik identitas dalam dirinya.

Menurut Mira, dia tidak pernah mencari identitasnya. Sebab, kedua orang tuanya telah membentuk identitas sang anak sesuai dengan pemahaman radikal yang diyakini orang tuanya. Identitas ini terpatri kuat dalam diri sang anak.Ia bahkan menganggapnya sebagai jalan hidup yang harus dilalui.

"Dia menganggap itu jalan hidupnya kalau dia harus dipenjara, kalau dia harus susah dan sebagainya, ya itu konsekuensi yang harus dia jalani. Enggak ada opsi lain. Ya itulah dia. Dan saya melihat bahwa dia secara emosi stabil," kata Mira.

Proses radikalisasi ini dimulai dari keluarga. Nilai-nilai utama yang diajarkan antara lain bagaimana menjalankan Islam yang benar sesuai akidah yang mereka yakini, bagaimana menjadi orang Islam yang benar, berorientasi pada penegakan syariah Islam, dan nilai-nilai jihad. Semua itu ditanamkan oleh suami yang menjadi figur guru bagi istri dan anak-anak mereka.

Sebagai bagian penanaman ideologi radikal pada anak, keluarga juga memilihkan pendidikan yang sesuai bagi anak-anak mereka. Dengan keterlibatan sang ayah dalam jaringan terorisme, kelompok ini juga melakukan ideologisasi di dalam kelompok.

"Ini yang agak susah mengeluarkan, memutus rantai dari keluarga ini memang harus ada ini (cara) khusus, jadi harus mengikutsertakan orang tuanya juga. Kalau anaknya saja yang di deradikalisasi tapi orang tuanya nggak ya akan ketarik lagi," ujar dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement