REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Keberadaan poros ketiga pada pilpres 2019 disebut memberikan nilai tambah pada demokrasi Indonesia. Sebab, masyarakat akan diperlihatkan calon pemimpin yang bervariasi, tidak tertutup pada Jokowi dan Prabowo semata.
Pengamat Politik dari Universitas Indonesia Hurriyah menuturkan, wacana poros ketiga lebih baik dibanding dengan wacana sebelumnya, yakni koalisi nasional yang mendorong calon tunggal sebelumnya. Isu pengulangan kembali persaingan Pilpres 2014 yang menampilkan Jokowi Prabowo semata juga tidak baik untuk demokrasi.
"Sebab, kondisi ini hanya akan mempertajam kembali polarisasi masyarakat," tutur Hurriyah ketika dihubungi Republika.co.id, Selasa (24/4).
Karena itu, kalau dilihat dari sisi kompetisi, poros ketiga merupakan wacana yang harus disambut dengan baik. Wacana ini turut mendorong partai politik untuk mau berani berkompetisi dalam mendorong kader-kadernya maju ke panggung Pilpres. Ketika kompetisi berlangsung dinamis, publik juga bisa melihat alternatif yang tersedia untuk dipilih sebagai pemimpin berikutnya.
Saat ini, Hurriyah melihat, kondisi politik Indonesia menuju Pilpres 2019 masih sangat fleksibel terhadap berbagai kemungkinan. Ketentuan partai atau gabungan parpol harus memiliki 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional memberatkan partai.
"Dampaknya, partai di luar pengusung petahana harus bermanuver mencari siapa yang kira-kira bisa diajak bergabung untuk mencalonkan capres atau cawapres," ucapnya.
Secara hitung-hitungan politik pun, jumlah suara keseluruhan partai masih memungkinkan poros ketiga. Tapi, untuk pastinya partai mana yang memecahkan diri dan bergabung masih harus menunggu. Kini, partai politik masih dalam proses mempertimbangkan berbagai kemungkinan.