Senin 23 Apr 2018 13:00 WIB

Dumping PET Picu Kenaikan Harga Produk Hilir

BMAD akan menambah beban biaya produksi makanan dan minuman jadi lebih mahal.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira menyebut  bea masuk (BM) anti dumping (BMAD) untuk polietilena tereftalat (PET) perlu pertimbangan matang, karena akan berpengaruh pada harga produk di tangan konsumen. Menurutnya adanya BMAD akan menambah beban biaya produksi makanan dan minuman jadi lebih mahal. 

 

"BMAD ini kontraproduktif dengan rencana pemerintah menaikkan angka konsumsi masyarakat. Palag saat ini kosnumsi masyarakat masih dalam tahap pemulihan," ujar Bhima, di Jakarta, Senin (23/4). 

 

Bhima menjelaskan, penerapan BMAD memang akan menekan angkap produk impor plastik, terutama dari China dan akan menstimulus plastik lokal. Tapi, pemakaian bahan baku plastik lokal dinilai tidak kompetitif dari segi harga. 

 

"Saat ini kondisi produsen plastik memang tertekan. Pada 2017 misalnya pertumbuhan industri plastik, karet dan barang dari karet hanya 2,47% (yoy), bahkan sempat negatif -1,03 persen di triwulan ke II," ungkapnya.

 

Kendati demikian, pemerintah juga perlu pertimbangkan nasib industri makanan minuman yang jadi salah satu penopang utama sektor manufaktur. Disaat manufaktur hanya tumbuh 4,24 persen ternyata industri makanan minuman bisa mencatat growth 9,23 persen. 

 

"Pemerintah juga kan ingin dorong pertumbuhan ekonomi di atas 5 persen. Serapan tenaga kerja dari sektor makanan minuman cukup besar. Maka harus ada pertimbangan matang," kata Bhima.

 

Dia menyebut, pemerintah harus memberikan solusi yang baik dalam jangka panjang. Tidak hanya mempertimbangkan aspek pelaku industri, tapi dari pajak sampai kepada konsumen. Jika konsumsi turun, lanjut Bhima, maka pajak dari sektor makanan dan minuman dipastikan merosot.

 

"Jalan tengahnya perlu mendengar dari sisi pelaku industri dan dihitung dampaknya baik ke konsumen, industri dan penerimaan pajak. Dari kacamata konsumen sebaiknya tidak dijalankan. Konsumen yang penting harga barang tidak naik," ujar Bhima.

 

Ketua Asosiasi Pengusaha Retail Indonesia (Aprindo) Roy Nicholas Mandey mengatakan sektor retail pada tahun lalu masih mengalami pelemahan. Bahkan, lebaran yang diprediksi bisa memberi keuntungan besar ternyata hanya menopang 25 persen terhadap total penjualan selama setahun. Alhasil, kinerja sektor retail sepanjang tahun lalu turun menjadi sekitar 3,6 persen. "Ini  jauh dari estimasi sebelumnya yang dipatok  sebesar 8-9 persen," katanya.

 

Roy menyebut, 2018 adalah tahun pengharapan bagi industri retail. Sebab banyak kalangan pengusaha dari sektor ini  mematok target penjualan dan bisa kembali  normal seiring dengan pesta demokrasi dan perbaikan pada investasi berbasis padat karya.

 

"Diharapkan adanya investasi berbasis padat karya sehingga mampu mendorong peningkatan konsumsi masyarakat. Sehingga semakin banyak tenaga kerja terserap, semakin tinggi angka konsumsi masyarakat. Dampaknya kepada produktivitas masyarakat sehingga konsumsi kembali normal. Bukan sebaliknya,” tutur Roy.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement