Kamis 19 Apr 2018 20:15 WIB

Sebelum Tutup Lokalisasi, Bupati Jayapura Buat Penelitian

Lokalisasi Tanjung Elmo Jayapura ditutup setelah berdiri 40 tahun.

Rep: Rr Laeny Sulistyawati/ Red: Indira Rezkisari
Wali Kota Surabaya, Jawa Timur, Tri Rismaharini (pojok kiri) dan Bupati Jayapura, Papua, Mathius Awoitaw (pojok kanan) menjadi narasumber kepala daerah yang sukses menutup lokalisasi di Rapat Koordinasi Penanganan Prostitusi dan Supporting Penutupan Lokalisasi, di Jakarta, Kamis (19/4).
Foto: Republika/Rr Laeny Sulistyawati
Wali Kota Surabaya, Jawa Timur, Tri Rismaharini (pojok kiri) dan Bupati Jayapura, Papua, Mathius Awoitaw (pojok kanan) menjadi narasumber kepala daerah yang sukses menutup lokalisasi di Rapat Koordinasi Penanganan Prostitusi dan Supporting Penutupan Lokalisasi, di Jakarta, Kamis (19/4).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Berada di ujung timur Indonesia dan jauh dari Ibu Kota Indonesia tak membuat bumi Papua terbebas dari jeratan prostitusi. Contohnya, lokalisasi Tanjung Elmo di Jayapura, Papua, yang menjadi tempat bisnis esek-esek sejak 1975.

Tempat ini dikeluhkan masyarakat karena mengganggu. Bupati Jayapura memutuskan harus menutup lokalisasi ini pada 2012 lalu. Namun, niat itu tak segera dapat diwujudkan.

Ketika Mathius Awoitaw menjabat sebagai orang nomor satu di Jayapura, ia kembali meneruskan rencana itu. Tak asal menutup lokalisasi Tanjung Elmo di wilayahnya yang telah berdiri puluhan tahun, ia memilih melakukan penelitian sebelumnya dengan menggandeng perguruan tinggi.

"Karena kami tidak bisa menutup tanpa studi komprehensif. Jadi, pertama kami meminta Universitas Cenderawasih melakukan penelitian, sebenarnya apa yang terjadi," katanya saat menjadi narasumber di Rapat Koordinasi Penanganan Prostitusi dan Supporting Penutupan Lokalisasi, di Jakarta, Kamis (19/4).

Setelah konsultasi dengan universitas tersebut, pemerintah Kabupaten Jayapura menemukan jawaban bahwa tempat prostitusi ini menjadi wadah perbudakan manusia. Ia mengatakan, awalnya para perempuan ini tidak mengetahui kalau akan dijadikan pemuas nafsu pria hidung belang, mereka hanya dijanjikan kalau datang ke tempat itu maka bisa bekerja di toko atau salon.

Namun, setelah tiba di Tanjung Elmo, perempuan-perempuan ini dipaksa untuk menjadi pemuas birahi. "Jadi, mereka menjadi pekerja seks komersial (PSK) karena tidak mengerti dan bukan keinginannya. Mereka tersandera kepentingan bisnis," ujarnya.

Tak hanya itu, perempuan malang ini juga tidak mendapat utuh uang yang diperolehnya setelah melayani laki-laki karena sebagian besar harus diserahkan pada muncikari. Kemudian, pemerintah Jayapura melakukan langkah selanjutnya yaitu terus membangun komunikasi dan membuat serta mengumpulkan data.

Hasilnya diperoleh fakta bahwa PSK di Jayapura berasal dari seluruh Indonesia, namun mayoritas 60 persen berasal dari Jawa Timur. Pemerintah Kabupaten Jayapura juga berkoordinasi dengan Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK), Kementerian Sosial (Kemensos), hingga Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) untuk membantu memberi wawasan pada penghuni lokalisasi tersebut. "Kami cukup lama memberi pemahaman," ujarnya.

Akhirnya pada 21 Agustus 2015 lalu lokalisasi Tanjung Elmo resmi ditutup. Sebagai kompensasinya, setiap PSK, diberikan bantuan sekitar Rp 5,05 juta.

Selain itu, untuk menjaga nama baik, nama-nama PSK ini juga tidak dipublikasikan. Kini, meski telah resmi ditutup, pemerintah Kabupaten Jayapura sudah memiliki aturan. "Kami sudah membuat peraturan daerah (perda) pelarangan prostitusi di Jayapura. Kami sudah berupaya," katanya.

Pria ini menegaskan, langkah pemerintah daerah Kabupaten Jayapura memang seiring sejalan dengan tekad Kementerian Sosial yang ingin mewujudkan Indonesia bebas prostitusi pada 2019 mendatang.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement