Selasa 17 Apr 2018 19:35 WIB

KPAI Dorong Kemendikbud Evaluasi Soal UNBK

KPAI mendorong Kemendikbud mengevaluasi soal UNBK secara transparan.

Rep: Idealisa Masyrafina/ Red: Bayu Hermawan
Komisioner Bidang Pendidikan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Retno Listyarti
Foto: ROL/Havid Al Vizki
Komisioner Bidang Pendidikan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Retno Listyarti

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mendorong Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI agar melakukan evaluasi terhadap penyajian soal ujian nasional berbasis komputer (UNBK) jenjang SMA yang berlangsung pekan lalu secara transparan. Hal ini terkait dengan aduan sebanyak 27 siswa SMA yang menyebutkan bahwa soal matematika dalam UNBK bukan merupakan materi yang pernah diajarkan selama tiga tahun di SMA.

Sebelumnya Kemendikbud RI menyebutkan bahwa jenis soal yang terdapat dalam mata pelajaran matematika termasuk Higher Order Thinking Skills (HOTS) atau soal penalaran. Komisioner KPAI Bidang Pendidikan, Retno Listyarti menilai hal ini menjadi masalah saat materi tersebut belum pernah diajarkan di sekolah namun diujikan dalam ujian nasional. Ini tentunya menjadi ketidakadilan bagi anak- anak peserta UNBK SMA.

"Siswa tidak memahami soal itu karena soal itu tidak mengukur kemampuan siswa terkait materi yang dipelajari. Artinya validitas soal bermasalah sehingga perlu dievaluasi," ujar Retno di Kantor KPAI Jakarta, Selasa (17/4).

Menurut Retno, bisa jadi soal bermasalah karena tidak memiliki daya pembeda. Artinya soal itu tidak bisa membedakan antara siswa yang ada di kelompok atas dan bawah (kemampuan diskriminasi). Selain itu bisa juga karena teks soal itu bersifat ambigu atau multitafsir, sehingga dipahami berbeda oleh siswa satu dan lainnya atau realibilitas soal. Sebab, berbeda dengan tingkat kesukaran, level berpikir tiap soal ditentukan sejak tahap persiapan pembuatan soal.

Dari referensi yang dipelajari oleh KPAI, soal tipe HOTS bukan berarti harus sulit. Soal tipe HOTS pada UNBK adalah soal- soal yang dalam bahasa blue print ujian dikenal dengan kode L3, artinya soal tipe penalaran. Ciri utama soal L3 adalah benar- benar mencoba menghindari soal yang bertipe sekedar ingatan, sebaliknya menuntut siswa untuk berpikir dan menerapkan konsep- konsep yang mereka pelajari pada situasi baru yang tidak familiar atau situasi yang sudah mereka kenal tetapi tidak ada algoritma tunggal yang tersedia untuk menjawabnya.

Dalam mengerjakan soal ini, mereka harus melakukan proses berpikir analisis, sintesis, menilai dan mengambil keputusan atas masalah yang disodorkan dalam soal. "Hal ini berbeda dengan soal sulit, yang dikatakan sulit bila dalam menjawabnya membutuhkan banyak langkah penyelesaian, banyak variabel yang tidak diketahui dan biasanya menggunakan banyak operasi matematika untuk menyelesaikannya," jelas Retno.

Pembelajaran HOTS menuntut para guru yang mampu meyakinkan siswa bahwa materi yang dipelajari berguna untuk kehidupan sehari- hari. Untuk itu, lanjut Retno, penguasaan konsep/ teori bukan hanya dihapalkan. Namun dibawa untuk mampu diaplikasikan dalam hal- hal yang sederhana hingga rumit. Pembuat kebijakan harunya bisa merumuskan pembelajaran HOTS yang mampu dikembangkan para guru.

"Kalau Kemendikbud mau adil, maka yang perlu dibenahi para gurunya untuk melakukan proses pembelajaran HOTS bukan malah berkonsentrasi pada UN saja dam menguji HOTS pada para siswa," kata Retno.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement