REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- KPK masih mencari masukan terkait putusan hakim tunggal Pengadilan Jakarta Selatan yang mengabulkan gugatan praperadilan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) terkait kasus korupsi Bank Century. "KPK sedang mengkaji itu,” kata Ketua KPK Agus Rahardjo di Jakarta, Selasa (17/4).
Dia mengatakan KPK sudah menugaskan penyidik dan jaksa untuk mendalami itu. “Mudah-mudahan dalam waktu yang dekat kita akan mendapat masukan," kata Agus.
Agus mengatakan KPK juga mendengarkan masukan ahli-ahli dari luar mengenai putusan praperadilan PN Jakarta Selatan. Agus menegaskan bila KPK memiliki alat bukti yang cukup maka lembaganya akan menindaklanjuti bukti tersebut.
"Jadi kita akan mendengarkan masukan dari teman-teman penyidik dan penuntut yang kita tugaskan untuk mendalami itu. Nanti mungkin minggu ini kami akan mendapatkan itu," tambah Agus.
Agus juga belum berencana untuk memanggil mantan gubernur Bank Indonesia Boediono dalam penyelidikan kasus tersebut. "Belum (akan dipanggil), tadi kami masih mendengarkan masukan dari penyidik lain," ungkap Agus.
Dalam putusannya yang dibacakan pada Selasa (10/4), Hakim Tunggal Effendy Muchtar memerintahkan KPK untuk tetap melanjutkan kasus dugaan tindak pidana korupsi Bank Century sesuai dengan ketentuan hukum dan peraturan perundang-undangan. "KPK harus melanjutkan pemeriksaan dan penuntutan perkara ini secara tuntas terhadap nama-nama yang disebutkannya dalam dakwaan perkara Budi Mulya apapun risikonya,” kata hakim.
Hakim menyatakan kelanjutan perkara merupakan konsekuensi logis yang harus dipertanggungjawabkan oleh KPK kepada masyarakat. Dalam melakukan penegakan hukum tidak boleh melanggar prinsip-prinsip dan asas-asas hukum yang telah diakui dalam teori hukum pidana yang berlaku universal.
“Kalau tidak kita akan ditertawakan oleh masyarakat dan dunia internasional, bahwa KPK memang telah melakukan tebang pilih dalam pemberantasan tindak pidana korupsi," kata hakim Effendy.
Dalam perkara tindak pidana korupsi dalam pemberian fasilitas pendanaan jangka pendek (FPJP) kepada Bank Century dan penetapan bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik, mantan Deputi Bidang IV Pengelolaan Devisa BI Budi Mulya telah dijatuhi putusan kasasi pada 8 April 2015. Budi Mulya dihukum penjara selama 15 tahun dan denda Rp 1 miliar subsider 8 bulan kurungan.
Sebelumnya pengadilan tingkat pertama memutuskan Budi Mulya di penjara selama 10 tahun ditambah denda Rp 500 juta subsider 5 bulan kurungan. Kemudian, putusan banding di Pengadilan Tinggi meningkatkan vonis menjadi 12 tahun ditambah denda Rp 500 juta subsider 5 bulan kurungan.
Putusan Budi Mulya menyebutkan adanya unsur pernyataan bersama melakukan tindak pidana berdasarkan pasal 55 KUHP. Unsur bersama tersebut menyebutkan sejumlah nama seperti Boediono sebagai Gubernur Bank Indonesia, Miranda Swaray Goeltom selaku Deputi Gubernur Senior BI, para deputi gubernur BI, yakni Siti Chalimah Fadjriah, S Budi Rochadi, Harmansyah Hadad, Hartadi Agus Sarwono dan Ardhayadi Mitroatmodjo, serta saksi Raden Pardede selaku Sekretaris Komite Stabilitas Sektor Keuangan (KSSK).
Pasal 55 KUHP artinya orang-orang yang disebut bersama-sama terhadap yang bersangkutan secara hukum bisa dimintai pertanggungjawaban pidana. Namun, mantan Deputi Bidang V Pengawasan Bank Umum dan Bank Syariah Bank Indonesia Siti Chodijah Fadjriah yang dinilai dapat dimintai pertanggungjawaban pidana sudah meninggal dunia pada 16 Juni 2015.
Majelis hakim agung yang terdiri dari Artidjo Alkostar sebagai ketua dan anggota M Askin dan MS Lumme menilai pemberian persetujuan penetapan pemberian FPJP kepada PT Bank Century oleh Budi Mulya dilakukan dengan itikad tidak baik. Majelis hakim agung menyebutkan itikad itu dilakukan dengan cara melanggar pasal 45 dan penjelasannya UU No 23 tatahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan UU No 3 tahun 2004.
Konsekuensi yuridisnya, perbuatan Budi merupakan perbuatan melawan hukum. Perbuatan tersebut juga menyebabkan kerugian negara sejak penyetoran Penyertaan Modal Sementara (PMS) yang pertama kali pada 24 November 2008 hingga Desember 2013 sejumlah Rp 8,012 triliun.
Jumlah kerugian keuangan negara tersebut yang sangat besar di tengah banyak rakyat Indonesia yang hidup dalam kemiskinan dan telah mencederai kepercayaan masyarakat terhadap kesungguhan negara dalam membangun demokrasi ekonomi. Dengan demikian, perlu dijatuhi pidana yang tepat sesuai dengan sifat berbahayanya kejahatan.