REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Berdasarkan hasil penelitian Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat, para korban keracunan minuman keras oplosan di Kabupaten Bandung mengalami gejala keracunan metanol. Zat korosif tersebut diketahui dapat menyebabkan kerusakan organ tubuh.
"Biasanya dipakai metanol ini digunakan untuk bahan bakar, bukan untuk minuman," ujar Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat Dodo Suhendar, kepada wartawan di Kantor Dinas Kesehatan Jabar, Rabu (11/4) malam.
Menurutnya hasil sementara itu diketahui berdasarkan sampel darah korban dan sisa barang yang diminum korban keracunan. Dinkes Jabar hingga saat ini masih melakukan penelitian di laboratorium kesehatan.
Saat ini, kata dia, pasien di UGD menjalani detoksifikasi. Yakni, membuang racun dan mendapat perawatan intensif. Pengambilan sampel darah sudah dilakukan, termasuk untuk muntahan dan urine. "Kami berkoordinasi dengan kepolisian untuk langkah selanjutnya," kata Dodo.
Dodo mengaku sangat prihatin dengan kejadian tersebut.Menurutnya kasus ini mencerminkan pengetahuan masyarakat yang masih kurang mengenai zat berbahaya. Selain itu, manajemen stres yang buruk di masyarakat sehingga menjadikan minuman keras bahkan barang berbahaya sebagai pelariannya.
"Ada ketidakpahaman terhadap jenis kimia tertentu. Kalau miras (legal) ada distribusi dan kawasan peredarannya sudah jelas," katanya.
Sementara kalau oplosan, kata dia, mereka membuat sendiri dan mencampur obat anti-serangga dengan spirtus dan alkohol murni. "Sama sekali bukan bahan pangan," katanya.
Sementara menurut Kepala Bidang Sumber Daya Kesehatan pada Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat, Ismirni, sebagian besar pasien korban keracunan minuman keras oplosan tersebut mengalami gejala keracunan metanol. Namun, ia masih menunggu hasil laboratorium untuk keterangan lebih pasti.
Gejala keracunan metanol, kata dia, dimulai dengan mual, muntah, dan pandangan jadi kabur. Dalam tubuh, metanol berubah jadi formaldehida atau formalin dan asam format yang bersifat korosif. Efek toksik metanol berjalan dalam empat fase.
Fase pertama adalah penekanan sistem syaraf pusat. Hal ini terjadi dalam 30 menit sampai 2 jam setelah mengonsumsi metanol. Fase kedua, adalah fase laten tanpa gejala tapi pasien mengalami depresi karena terjadi gangguan pada sistem syaraf pusat.
Fase ketiga, kata dia, terjadi asidosis metabolik berat. Pada fase ini, metanol telah dimetabolisasi menjadi asam format dan menyebabkan peningkatan keasaman darah. Hal ini menyebabkan mual, muntah, pusing, dan mungkin sudah mulai ada tanda-tanda gangguan penglihatan.
Fase keempat, adalah toksisitas pada mata, diikuti dengan kebutaan, koma, dan kematian. Gangguan visual ini pada umumnya terjadi pada 12 sampai 48 jam setelah minum metanol. Gangguannya mulai dari tidak tahan cahaya atau fotofobia, pandangan kabur atau berkabut, sampai kebutaan, kemudian diikuti kematian.
Berdasarkan data terakhir, total korban di Kabupaten Bandung mencapai 145 orang dengan kematian 41 orang. Di RSUD Cicalengka ada 103 orang dirawat dan 31 orang meninggal, di RSUD Majalaya ada 60 pasien dan meninggal 3 orang, serta di RS AMC ada 16 korban dirawat dan meninggal 7 orang.