REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bebas menentukan kapan akan melaksanakan amar putusan sidang praperadian kasus Bank Century yang dipimpin hakim tunggal Effendi Mukhtar. Mahkamah Agung berpendapat KPK tentu sangat berhati-hati dalam memproses kasus tersebut.
"Terserah KPK (kapan melaksanakan amar putusannya), mau cepat atau lambat itu berpulang kepada KPK, dan saya rasa KPK tetap memproses, hanya saja tidak dipublikasikan saja," kata Kepala Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung (MA) Abdullah mengungkapkan kepada Republika, Rabu (11/4).
Dia mengatakan selama KPK belum menerbitkan surat penghentian penyidikan perkara (SP3), kasus Bank Century belum ditutup. “Sampai hari ini tetap melakukan proses. KPK akan terus melakukan tugasnya, mau cepat atau lambat tergantung pada KPK," tambah dia.
Humas Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Achmad Guntur mengatakan KPK tidak memiliki batasan waktu untuk segera melaksanakan putusan praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan terkait kasus korupsi Bank Century. Pelaksanaan putusan praperadilan tersebut diserahkan kepada lembaga antirasuah itu.
"Itu kembali kepada para pihak, apakah akan melaksanakan putusan itu apa tidak. Dan tak ada batasan waktunya (untuk melaksanakan putusan). Akan tetapi, pengadilan punya kewajiban untuk mengumumkan putusan, dalam hal ini melalui direktori dengan meng-upload-nya (ke website)," ujarnya.
Guntur menambahkan, tidak ada kewajiban bagi pihak yang berperkara itu untuk meminta salinan putusan tersebut. Karena itu pula, tidak ada batas waktu bagi KPK mengambil salinan putusan untuk kemudian melaksanakan amar putusannya.
Sebelumnya, sidang praperadilan di PN Jaksel mengabulkan sebagian gugatan praperadilan yang diajukan oleh Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) atas nama Boyamin Saiman terkait kasus dugaan korupsi dana talangan/bailout Bank Century. Dalam putusan hakim, KPK diwajibkan untuk melaksanakan penyidikan atas kasus Bank Century.
Bentuk pelaksanaannya yakni dengan menetapkan tersangka baru dalam kasus tersebut. Di antaranya, Boediono, Muliaman D. Hadad, Raden Pardede, dan lainnya sebagaimana tertuang dalam surat dakwaan atas nama terdakwa Budi Mulya. Jika tidak dilakukan, KPK harus melimpahkan kasus tersebut ke kepolisian atau kejaksaan.
Pelimpahan kasus ke dua institusi itu yakni dengan memulainya dari penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan dalam proses persidangan di Pengadilan Negeri Tipikor Jakarta Pusat.