Rabu 11 Apr 2018 18:17 WIB

Aksi di Depan Istana Tuntut Pembentukan TGPF Kasus Novel

Hingga kini, pelaku penyerangan terhadap Novel belum ditangkap.

Rep: Debbie Sutrisno/ Red: Andri Saubani
Aktivis Anti Korupsi membawa poster bergambarkan Novel Baswedan dalam rangka peringatan 1 tahun kasus Novel Baswedan di depan Istana Merdeka Jakarta, Rabu (11/4).
Foto: Republika/Iman Firmansyah
Aktivis Anti Korupsi membawa poster bergambarkan Novel Baswedan dalam rangka peringatan 1 tahun kasus Novel Baswedan di depan Istana Merdeka Jakarta, Rabu (11/4).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- 'Berantas Korupsi, Ungkap Kasus Novel. Ungkap Kasus Novel, Bentuk TGPF. Mata Novel, Mata Keadilan'. Yel-yel ini menjadi penyuntik semangat aksi 365 hari kasus Novel Baswedan, Rabu (11/4).

Puluhan massa yang berada di Taman Aspirasi, tepat di seberang gedung Istana Negara pun ikut menyuarakan yel-yel tersebut. Seruan tersebut merupakan pembuka aksi massa agar pemerintah segera menuntaskan kasus Novel Baswedan, yang merupakan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) memang menjadi muara aksi yang selama ini dilakukan massa pencari keadilan bagi Novel Baswedan. Ketidakinginan pemerintah dalam membentuk TGPF dianggap menjadi salah satu pemicu kasus yang telah satu tahun ini tak kunjung mengalami kemajuan signifikan. Selain pembentukan TGPF, aksi massa pun menuntut agar Presiden Joko Widodo (Jokowi) mau berbuat lebih dan tidak sekedar menunggu kinerja kepolisian yang dirasa pincang.

Salah satu kuasa hukum Novel Baswedan, Harris Azhar mengatakan, pembentukan TGPF penting dalam rangkan mengusut tuntas kasus Novel. Tim ini diharap bisa menjadi alat kerja bersama agar dalang dibalik penyerangan terhadap Novel bisa dibongkar. Melalui tim ini juga bisa dilakukan evaluasi dalam kinerja pengungkapan kasus. Tanpa TGPF bisa saja kinerja dari kepolisian dipertanyakan.

"Dalam satu bulan ini saja kami sudah lakukan evaluasi dan ada yang menarik bahwa sebetulnya apa yang dilakukan kepolisian ini melampaui apa yang mereka dapat," ujar Harris Azhar dalam aksinya, Rabu (11/4).

Menurut Harris, ada beberapa kejanggalan yang dilakukan pihak kepolisian dalam memecahkan kasus Novel, salah satunya adalah sketsa pelaku penyiraman air keras yang telah disebarkan. Dari infromasi yang diterima kuasa hukum, sebenarnya ada dua sketsa yang dibuat oleh dua orang yang berbeda. Sayang sketsa yang telah disebar sebenarnya tidak lebih baik dari sketsa yang satu, di mana sketsa yang disimpan dianggap lebih mirip dengan muka pelaku penyiraman.

Selain itu, tim kuasa hukum juga menilai bahwa kepolisian belum mengamankan semua data CCTV di tempat kejadian. Kepolisian sebenarnya sudah mengidentifikasi CCTV, tapi belum mengambil data yang ada dalam CCTV tersebut. Padahal CCTV ini bisa jadi radiusnya lebih dekat dan bisa dijadikan data tambahan.

"Dua hal ini yang kami miliki dan nanti akan ada temuan lain yang bakal kami rilis dalam waktu dekat," ujarnya.

Direktur Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Alghiffari Aqsa mengatakan, memang ada banyak kejanggalan dalam pengungkapan kasus Novel. Misalnya, dalam pemberian informasi terbaru, keluarga atau korban jarang bahkan hingga tidak pernah diberikan informasi mengenai kemajuan dari kasus tersebut. Padahal informasi apapun yang didapat meski kecil seharusnya bisa diberikan kepada sang korban, dalam hal ini Novel Baswedan.

Tim Kuasa Hukum bahkan telah meminta Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP) kepada kepolisian. Tapi tim tidak pernah diberi kabar mengenai apapun, p8adahal di aturan kepolisian sudah jelas tertera.

"Kami menganggap ini ada itikad buruk (kepolisian)," kata Alghi.

Alghi menjelaskan, persoalan teknis yang dilakukan tim penyidik dari kepolisian memang terlihat memiliki banyak kejanggalan. Tim kuasa hukum pun mengkiritisi kinerja dari kepolisian dalam menuntaskan kasus ini.

Baca: Novel Kecewa dengan Proses Pengungkapan Kasusnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement