Senin 09 Apr 2018 03:17 WIB

Soal Restorative Justice di Kasus Sukma, Ini Kata Pengamat

Dalam perkara seperti kecelakaan lalu lintas saja, perkara tetap disidangkan.

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Bilal Ramadhan
Sukmawati Soekarnoputri
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Sukmawati Soekarnoputri

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menuturkan, polisi harus mendapat persetujuan para korban untuk menyelesaikan kasus puisi Sukmawati Soekarnoputri lewat jalan damai atau restorative justice. Sebab, pada dasarnya cara tersebut lebih menekankan kepada kompensasi korban.

"Jika kepolisian akan menempuh jalan ini, tentu saja juga harus ada persetujuan mereka yang merasa menjadi korban, Dalam kasus ini artinya tidak cukup korban diwakili oleh satu-dua lembaga saja, tapi semua lembaga yang merasa jadi korban," kata dia kepada Republika.co.id, Ahad (8/4).

Fickar menjelaskan, restorative justice merupakan penyelesaian perkara di luar pengadilan dengan pemulihan hubungan dan penebusan kesalahan pelaku tindak pidana terhadap korban. Tujuannya agar masalah dapat diselesaikan dengan baik atas dasar kesepakatan dengan korban.

"Dalam perkara-perkara biasa, misalnya kecelakaan lalu lintas, perkaranya tetap disidangkan, kompensasi dan persetujuan dengan korban hanya menjadi faktor yang meringankan hukuman saja," tutur dia.

Rabu (4/4) kemarin, Sukmawati meminta maaf atas puisi berjudul "Ibu Indonesia" yang dibacakan dalam acara 29 tahun Anne Avantie berkarya pada Rabu (28/3) lalu. Sukmawati mengaku tidak memiliki niat menghina umat Islam Indonesia dengan puisi yang dibacakannya.

Sukmawati menyampaikan tidak ada rencana ataupun niatan sama sekali untuk mencela dan menghina umat Islam seperti yang ditujukan ke dirinya beberapa hari terakhir. Perempuan berusia 67 tahun itu juga menyampaikan permohonan maaf kepada desainer Anne Avantie dan keluarga.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement