Senin 09 Apr 2018 05:03 WIB

Lakon Hollywood, Bollywood, Telenovela: Perang Citra Pilpres

Politik seharusnya panggung hiburan rakyat, bukan malah berisi kemaran atau ancaman.

Ronald Reagen.
Foto:
Komik Asterik. Sosok kepala suku Galia Kuno.

                                                           *****

Di buku komik asal Prancis yang mendunia serial 'Asterik', pemimpin juga bukan orang terkuat dan terhebat. Pemimpin suku perkampungan Galia kuno itu, di komik edisi Indonesia dinamakan Abraracourcix -- versi Inggris Vitalstatistix , versi Jerman Majestix -- malah terindikasi oleh orang yang selalu berhati cemas sekaligus penakut karena menganggap 'langit akan runtuh' esok hari.

Hebatnya, meski dengan segudang kelemahan dan cacat itu, dia adalah orang yang disayangi karena lugu dan pandai mengambil hati orang pintar seperti Asterik (kadang berperan sebagai jendral pasukan), orang kuat seperti Obelik yang mampu mengangkat batu Menhir sendirian, atau tokoh spritual jempolan yakni dukun tua, Panoramix. Si pemimpin tampak bukan orang istimewa keturunan 'kelopak bunga dan rembesannya sari madu'. Dia hanyalah seperti nasihat pepatah Melayu: Orang yang ditinggikan seranting dan dimajukan selangkah ke depan saja dari orang kebanyakan. Dalam komik itu  'sang pemimpin' dihormati sekedarnya yang disimbolkan dengan kerelaan penduduk untuk memanggul tandunya meski kerap  terlepas dan terjatuh ke tanah.

Tapi sayangnya, entah mengapa di tahun politik jelang pilkada dan pilpres, rakyat Indonesia malah disajikan 'kebanalan' alias hiburan politik yang mengenaskan. Entah mengapa para aktor politik kerap gagal memberikan hiburan yang bermutu kepada khalayak. Mereka tampak ingin bergaya layaknya 'film Hongkong' masa lalu yang serba dipenuhi ancaman, amarah, hingga amuk perkelahian dari orang yang merasa jagoan ala Film Bruce Lee. Hal remeh-temeh mereka besar-besarkan. Mereka ingin panggung politik hanya dimiliki sendirian. Basa-basi, puja-uji,  campur rendah diri berhamburan. Panggung politik tak mau dibagi dengan aktor lain, istilah Jawa Mataramnya: Tak boleh ada matahari kembar!

Padahal ketika reformasi, utamanya dimulai dari adanya pilpres langsung, calon presiden cukup bejibun jumlahnya. Bahkan di Amerika siapa saja pada awalnya bisa ikut banyak orang mencalonkan diri, meski akhirnya mengerucut tinggal dua pasang. Banyak orang pun sudah mengkritik aturan 'treshold' dalam pilpres kali ini dengan menuntut semua peserta partai pemilu bisa mencalonkan presiden. Tapi ini ditolak alasan di antaranya soal kekuatan koalisi. Dan ini pun dibantah karena tak mungkin koalisi kuat bila minimal hanya 20 persen, atau tidak kenapa sekalian tak 60 persen?

Pakar filsafat Rocky Gerung mengatakan misalnya, aturan ambang batas pencalonan dalam pilpres kali ini mencederai akal sehat. Apalagi analoginya bagai sebuah tiket bioskop yang sudah dipakai kok bisa dipakai lagi.  Kok barang yang sudah usang dan dirobek bisa dipakai untuk mencalonkan pilpres lagi? Bagaimana kalau ada partai baru yang memenangkan pemilu?

Jelas memang, politik hari-hari ini tak bermaksud menghibur hati rakyat yang sudah sumpek. Yang ada hanya kalah dan menang serta jaya atau tersungkur. Tak lagi ada gambaran sosok Ronald Reagen, Mithun Chakraborti, hingga Joseph Estrada yang manis serta merupakan politisi sekaligus aktor sejati itu. Istilah lagu Inggrisnya: 'The winner takes its all'.

Ya, mudah-mudahan saja masih ada titik terang di ujung lorong. Sebab sejatinya, politik hanya sebatas syair lagu karya Achmad Albar yang ditulis Taufiq Ismail: Dunia hanya panggung sandiwara! Mereka lupa akan nasihat Machiavelli: bila ingin berkuasa harus pintar mengenakan topeng atau bersandirawa!

*Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement