Senin 09 Apr 2018 05:03 WIB

Lakon Hollywood, Bollywood, Telenovela: Perang Citra Pilpres

Politik seharusnya panggung hiburan rakyat, bukan malah berisi kemaran atau ancaman.

Ronald Reagen.
Foto:
Film Joseph Estrada.

                                                              ****

Seorang dosen komunikasi UIN Jakarta pun mengakui politik sebenarnya serupa dengan panggung sandiwara. Memang juga kerapkali layaknya sebuah film, opera sabun (telenovela), bahkan komik. Dan idealnya memang begitu: panggung politik seharusnya memberi hiburan bermutu kepada rakyat. Persis nasihat Kaisar Romawi, Julius Caesar yang katanya buatlah sirkus ketika kehidupan rakyat tak baik.

Dahulu, Julius Caesar di Roma diwujudkan dengan membuat Koloseum atau panggung hiburan berupa stadion untuk menonton pertunjukan adu manusia dengan manusia sampai mati (pertarungan Gladiator), hingga pertarungan manusia dengan harimau hingga banteng. Rakyat harus dibuat gembira untuk melupakan kesumpekan beban hidup, hingga meredam ancaman subversif politik.Maka muncullah berbagai jagoan. Begitu juga di kalangan teater muncul pelakon dan orator top semacam Cicero.

Nah, ketika sampai masa negara 'Romawi Moderen' yang dipimpin Ronald Reagen itu, maka panggung politik di zaman manusia jauh lebih beradab dan tidak boleh sadis, bahkan para aktornya --atas nama demokrasi-- harus bisa melankonkan hiburan yang manis. Kisahnya pun harus dirancang happy ending atau setidaknya tidak menimbulkan lakon perenungan yang gelap tak berujung. Film Hollywood laku keras dan bertahan karena ide itu. Inilah yang membedakan dengan film dari Prancis yang kadang terlalu idealis, berkarakter hitam putih, dan memainkan kisah menang total atau kalah total ala 'Zero Sum Game'. Hollywood paham film itu industri menyangkut rasa orang banyak. Jadi apa jadinya bila orang yang sudah payah-payah ke gedung bioskop dan beli tiket kalau pulangnya malah didera perasaan sedih?

Reagen rupanya paham akan hal itu. Dia kemudian meluncurkan perang antar bintang yang terilhami 'Film Star Wars' di mana rudal dan satelit bisa ditembak jatuh oleh sinar laser. Memang program ini pada periode sesudahnya kemudian dibatalkan konggres karena tak masuk akal sekaligus berbiaya mahal. Tapi Reagen sudah berhasil membuktikan bahwa 'impian Amerika' itu benar bisa teruwujud adanya.

photo
Gilm Mithun Chakraborty.

Sama dengan seteru pasar film Hollywood, lakon film Bollywood (fillm India) pun sama. Bahkan terkesan lebih berwarna dan riang karena tak hanya ketika lagi gembira, adegan sedih pun penuh nyanyian dan tarian. Jagoan selalu kalah di depan dan menang belakangan. Aktor Mithun Chakraborti salah satu pelakon yang yahud memerankannya. Dia bisa jungkir balik, masuk penjara, di fitnah kiri kanan sebagai durjana, tapi diakhirnya cerita Mithun selalu menang. Lakon riil Indianya ada pada sosok perdana menteri India masa kini, Narendra Modi. Di masa lalu banyak dibenci bahkan oleh Amerika Serikat sempat dicekal untuk datang, tapi akhirnya ketika terpilih sebagai perdana menteri banyak orang memuji dan akhirnya Amerika tak berutik untuk tidak menerimanya.

Hebatnya lagi, Modi mampu meruntuhkan politik dinasiti keturunan Nehru dan Indira Gandhi. Bayangkan citra merakyat yang coba ditampilkan keturunan keluarga Raziv Gandia dan Sonia  gagal total ketika melawannya. Menjelang pemilu keturunan Nehru itu sudah berpeluh tidur dan mencicipi makan seadanya di gubuk reot orang miskin, tapi itu tak mempengaruhi pilihan hati rakyat India. Modi tetap mereka pilih, dan generasi Nehru tumbang. Mereka gagal memainkan posisi jagoan yang dimainkan oleh Mithun dengan lakon 'happy ending' tersebut

Bukan hanya gaya Film India, ada juga pecitraan ala opera sabun atau telenovela Meksiko. Pelakon utamanya meringis, menderita menjadi korban aneka duka sepanjang hidupnya Akibatnya, semua iba dan memilih dia. Maka lahirlah politisi layaknya putri Cinderalla: sikapnya selalu ingin mencari simpati dengan sosok miskin, terpinggirkan, terhinakan, dan terlunta-lunta. Akibatnya, orang pun terhibur dengan memilihnya karena dia dianggap pahlawan yang selama ini terendam dalam pekatnya kubangan lumpur. Persis dengan model cerita munculnya Ratu Adil dalam hikayat itu. Saking ibanya banyak pihak yang terkena sindrom kejiwaan 'Cinderella Compleks", yakni terus menunggu-nunggu kedatangan si pelamar sang pangeran yang tampan serta kaya raya. Padahal mereka sejatinya teralinesi dan kesepian layaknya lakon drama klasik menunggu 'Godot'.

Sosok model begini ada yang pernah memainkannya dan suksesl, yakni mantan Presiden Filipina Estrada, Joseph Estrada. Dia lahir besar oleh keluarga jelata dan besar di kawasan padat penduduk di Manila. Tapi bakatnya besar sebagai aktor tercermin dalam film seperti  'Kumander Alibasbas, Order to Kill, Sa Dulo ng Kris', dan lainnya. Karena cara memainkan seni aktingnya pun memikat, layaknya kebanyakan selera orang Indonesia, dia pun termashur. Estrada sangat pula  dicintai oleh kaum papa di Filipina.

Maka, ketika maju pilpres Estrada menang meski dengan model pilpres sistem mayoritas sederhana. Keterpilihannya tak goyah walau kalangan gereja Filipina beberapa jam jelang 'coblosan' kala itu menyatakan netral dalam pilihan karena calon presidennya tak hanya Estrada seorang. Di Afrika juga telah terjadi pada bintang sepakbola 90-an, Goerge Weah yang kini menjadi Presiden Liberia. Dia gagal berkali-kali sebagai politisi sebelum berhasil ke puncak.

                                           

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement