Rabu 11 Sep 2013 19:10 WIB

Forum Rektor: Para Aktor Politik Gagal Memberi Edukasi Politik

Rep: Bowo Pribadi/ Red: Heri Ruslan
Sidang paripurna DPR-RI (Ilustrasi)
Foto: REPUBLIKA
Sidang paripurna DPR-RI (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,  SEMARANG — Para politisi dinilai gagal dalam memberikan edukasi politik dan demokrasi yang baik kepada masyarakat. Akibatnya demokrasi di negeri ini stagnan dan masih mengalami keterpurukan.

 

Yang terjadi, masyarakat semakin acuh tak acuh dengan proses ataupun hajat demokrasi. Ujung- ujungnya stagnansi demokrasi inipun semakin memperbesar non partisipasi masyarakat terhadap proses demokrasi.

 

Terkait dengan kondisi ini, Forum Rektor Indonesia (FRI) melihat ada sejumlah permasalahan mendasar, hingga kekecewaan rakyat semakin masif. Hal ini akibat beberapa persoalan yang berbasis  pada sikap politisi selaku aktor politik.

 

“Pertama, hilangnya moralitas dan keteladanan para aktor politik,” ungkap Ketua FRI 2013, Prof Dr Laode M Kamluddin, dalam keterangan persnya, di Semarang, Rabu (11/9).

 

Hampir tiap hari, jelas Laode, masyarakat dihadirkan fenomena kerusakan moral para pejabat negara. Tokoh – tokoh yang sempat menjadi harapan justru terlibat kasus moral yang pada akhirnya meruntuhkan harapan tersebut.

 

Kedua, lanjutnya, penyakit korupsi kolusi dan nepotisme yang masih saja mengakar di negeri ini. “Akibatnya masyarakat kehilangan teladan dan kepercayaan yang sebelumnya diharapkan dari para actor politik,” jelasnya.

 

Penyelenggaraan pemilu yang tidak sehat, lanjut Rektor Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang ini—juga ikut berkontribusi terhadap kondisi demokrasi yang cenderung apatis bagi masyarakat ini.

 

Termasuk pendidikan politik dari para surveyor yang menghadirkan hasil survei yang justru membingungkan serta peegakan hukum yang masih jauh dari keadilan dan keberpihakan kepada rakyat miskin.

 

Tak terkecuali dalam pencapresan. FRI juga menilai konvensi yang idealnya menghadirkan calon presiden terbaik yang ditawarkan kepada masyarakat justru semakin memperkeruh keadaan.

 

Kontestasi calon presiden melalui proses konvensi ini justru menambah runyam polemik demokrasi bangsa ini. Alih – alih menawarkan regenerasi kepemimpinan justru menampilkan teaterikal politik yang tidak memberikan perubahan signifikan bagi kemajuan demokrasi Indonesia.

 

“Ajang ini tak lain hanyalah kontestasi demokrasi artificial, namun kehilangan nilai moral dan realitas,” lanjut Laode.

Konvensi sesungguhnya telah dilakukan oleh media massa. Bukan partai politik, tapi medialah yang telah menghadirkan pilihan – pilihan dalam bentuk polling. Partai politik pun pada akhirnya terseret dalam arus hasil polling tersebut.

 

Hingga pada akhirnya calon – calon pemimpin negeri ini adalah mereka yang dikonstruksikan oleh media melalui polling yang dipertanyakan keilmiahannya. FRI sebagai Forum tertinggi tempat terkumpulnya pimpinan kaum intelektual bangsa ini.

 

FRI tidak boleh diam, acuh apalagi mengutuki keadaan. Masyarakat butuh pegangan, teladan dan harapan. Dan harapan ini ada di pundak kaum intelektual yang tersebar di 3200  kampus di Indonesia.

 

Kaum intelektual harus bergerak memberikan advokasi karena himbauan moral saja tidak cukup.

“Maka FRI harus melakukan advokasi untuk membantu proses pencalonan capres yang dipandang lebih kredibel, transparan dan  akuntabel,” tambahnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement