Jumat 06 Apr 2018 16:48 WIB

Politikus PSI Dikecam Media Rusia, Ini Tanggapannya

Tsamara Amany Alatas sebelumnya sempat mengkritik Presiden Vladimir Putin.

Politisi Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Tsamara Amany
Foto: Republika/Prayogi
Politisi Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Tsamara Amany

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Politikus Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Tsamara Amany Alatas, mengklarifikasi pernyataannya soal tidak perlunya Indonesia memiliki pemimpin seperti Presiden Rusia Vladimir Putin. Pernyataan Ketua DPP PSI itu, sebelumnya,  mendapat kecaman dari salah satu media massa Rusia, Russia Beyond The Headline (RBTH).

Tsamara dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Jumat (6/4), membaca kritikan RBTH yang menganggap pernyataannya mendiskreditkan Putin melalui unggahan di media sosial Facebook (FB).

"Saya sangat memahami keberatan RBTH. Sebagaimana tercantum dalam laman FB-nya, RBTH adalah sarana kampanye Rusia di dunia internasional. Karena itu, sangat wajar bila RBTH wajib membela citra Putin di dunia internasional," ujar Tsamara.

Ia merasa perlu menjelaskan komentarnya tentang Putin karena menurut dia, pernyataan itu dia lontarkan semata ditujukan pada publik Indonesia. Hal ini, lanjut dia, merujuk pada pernyataan Waketum Partai Gerindra Fadli Zon yang mengimbau masyarakat Indonesia untuk mencari pemimpin seperti Putin.

Seperti dikatakan dalam status RBTH, ia menilai tentu saja Fadli berhak untuk mengagumi Putin. "Tapi saya juga wajib mengingatkan masyarakat Indonesia bahwa pemimpin seperti Putin, bukanlah pemimpin layak bagi Indonesia yang saat ini berkomitmen memperjuangkan demokrasi dan memerangi korupsi," tutur Tsamara.

Ketika mengkritik Putin, ia menegaskan, bukan berarti dirinya kemudian anti terhadap rakyat Russia yang memiliki peradaban luar biasa. "Ini sama saja ketika kita mengkritik Donald Trump dan cara-caranya memenangkan pemilu dengan menggunakan politik identitas, bukan berarti saya membenci rakyat Amerika Serikat," ucapnya.

Ia menambahkan, penilaian tentang kualitas Putin yang diktator, otoriter, dan membiarkan korupsi terorganisasi sudah banyak dikemukakan media dan lembaga-lembaga riset ternama di negara-negara demokratis dunia. "Saya hanya merujuk pada analisis-analisis tersebut, misalnya, survei The Economist tahun 2017 masih menempatkan Rusia sebagai negara dengan rezim otoritarian," ucapnya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement