Kamis 05 Apr 2018 19:05 WIB

Tiga Parpol Setuju Larangan Mantan Napi Korupsi Nyaleg

Tiga perwakilan Parpol setuju dengan aturan larangan mantan Napi korupsi jadi Caleg.

Rep: Dian Erika Nugraheny/ Red: Bayu Hermawan
Warga memasukan surat suara ke kotak suara. (Ilustrasi)
Foto: Republika/Raisan Al Farisi
Warga memasukan surat suara ke kotak suara. (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perwakilan tiga partai politik (Parpol) yang menghadiri uji publik rancangan Peraturan KPU (PKPU) Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/ Kota menyatakan setuju dengan aturan larangan mantan narapidana korupsi maju sebagai calon anggota legislatif (Caleg). Selain menegaskan efek jera, aturan tersebut juga dinilai dapat memberikan pendidikan antikorupsi yang baik bagi semua pihak.

Ketua DPP Partai Hanura Sutrisno Iwantoro mengatakan, memberi dukungan kepada usulan aturan yang masuk dalam rancangan PKPUPencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kotaitu. Menurutnya, aturan semacam ini penting diberlakukan dalam pemilu.

"Kami memberikan dukungan agar mantan koruptor tidak bisa mencalonkan (sebagai caleg). Saya kira ini penting untuk memberikan pendidikan agar jangan melakukan korupsi. Meski sudah menjalani hukuman dan semestinya insyaf, tetapi efek jeranya kurang (efek jera untuk tidak mengulangi)," ujar Sutrisno dalam uji publik di Kantor KPU, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (5/4).

Hal serupa juga diungkapkan oleh Sekretaris Jenderal Partai Berkarya, Badaruddin Andi Picunang. Pihaknya mengusulkan ketentuan korupsi didahulukan sebelum dua ketentuan lain, yakni mantan narapidana narkotika dan mantan narapidana kasus kejahatan seksual terhadap anak. "Kami sangat mendukung. Kami pun mengusulkan agar dalam kalimat yang memuat ketentuan larangan itu, kata 'korupsi'-nya dulu yang didahulukan, jangan (kata) 'bandar narkotika'," ujar Badaruddin.

Ketua DPP Partai Perindo Bidang Hukum dan Advokasi, Christophorus Taufik, menyatakan bahwa secara prinsip, mereka menyetujui usulan aturan oleh KPU tersebut. Namun, pihaknya juga meminta penyelenggara pemilu mempertimbangkan hak dari para individu mantan napi korupsi itu.

"Secara prinsip kami setuju. Hanya saja, dalam bingkai negara hukum, sebelumnya di dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) sudah diputuskan bahwa orang yang bersalah itu memang sudah dihukum dengan menjalani hukumannya. Selanjutnya, ketika dia sudah keluar dan menjalni hukumannya apakah harus kita hukum lagi dia untuk tidak dipilih, padahal hak yang melekat adalah dipilih dan memilih. Ketika nanti terpilih apakah ada jaminan orang-orang yang terpilih itu tidak mengulangi cerita yang sama," jelasnya.

Sebagaimana diketahui, rencana melarang mantan koruptor maju pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 menjadi kontroversi, di antaranya karena korupsi tidak dianggap sebagai kejahatan luar biasa. Selain itu, pelarangan tersebut berarti pencabutan hak politik yang menjadi kewenangan pengadilan. Biasanya, pencabutan hak politik menjadi hukuman tambahan dalam putusan perkara korupsi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement