REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Fenomena minuman keras (miras) oplosan di Jakarta dan sekitarnya kembali marak. Bahkan, lebih dari 20 orang dikabarkan tewas akibat menenggak minuman keras oplosan.
Sosiolog Nia Elvina memandang fenomena konsumsi miras oplosan ini merupakan fenomena sosial. "Saya kira fenomena seperti ini merupakan suatu gejala depressi sosial," ujar Nia pada Republika, Kamis (5/4).
Nia berpandangan, masyarakat mengonsumsi miras oplosan bisa dipengaruhi oleh sejumlah alasan. Namun, yang kerap menjadi alasan adalah adanya depresi. Hal ini misalnya karena adanya permasalahan ekonomi.
"Ketika tuntutan ekonomi semakin tinggi dan lapangan pekerjaan semakin sulit atau malah tidak tersedia," tutur Nia.
Dari keadaan tersebut, menurut Nia, kemudian masyarakat mencari perilaku sebagai suatu bentuk pelarian. Mereka melakukan sesuatu yang dapat menghibur mereka.
"Masyarakat cenderung berprilaku yang membuat mereka merasa nyaman seperti mengkonsumsi miras tadi," ujar Sosiolog asal Universitas Nasional tersebut menambahkan.
Baca: Polisi: Tersangka Jual Miras Oplosan Dua Tahun Terakhir.
Sehingga, untuk memperbaiki kondisi tersebut perlu peran seluruh pihak. Dari masyarakat sendiri perlu dilakukan edukasi. Sementara dari seluruh pemangku kepentingan perlu menciptakan kondisi sosial yang tidak menyebabkan depresi. Dari sisi penegakkan hukum, aparat pun perlu melakukan pengawasan.
Diketahui pada pekan ini, jumlah korban miras oplosan mencapai 24 orang. Di Jakarta Timur, jumlah korban sebanyak 10 orang. Di Jakarta Selatan, jumlah korban delapan orang. Sementara di Depok jumlah korban sebanyak enam orang. Kepolisian sudah menetapkan tersangka seorang pedagang miras dalam kasus ini.