Ahad 01 Apr 2018 05:09 WIB

Mahbul ul Haq, Kesenjangan: Belajar dari Politik Pakistan

Kaum muslim harus punya komitmen yang jelas terhadap segala masalah bangsa.

Para tokoh membuka Konggres Umat Islam Sumatra Utara di Medan (30/3). Pembukaan acara di tandai dengan pemukulan Gondang 9.
Foto: Sabar Sitanggang
Para tokoh membuka Konggres Umat Islam Sumatra Utara di Medan (30/3). Pembukaan acara di tandai dengan pemukulan Gondang 9.

Oleh: Muhammad Subarkah*

Belakangan hari ini ramai soal kesenjangan sosial. Media masa dan media sosial ribut ketika Amien Rais omong bila negeri ini dinikmati segelintis orang. Ada 0,1 persen penduduk menguasai 74 persen lahan. Hingga ada segelintir kelompok yang menguasai sebagian besar kekayaan negara.

Segala keriuhan hingga caci maki yang berhamburan kemudian mengingatkan kepada sebuah karya buku ekonom Pakistan, Mahbub ul Haq: Tirai Kemiskinan dan Tantangan-tangangan untuk dunia ketiga. Buku ini bersampil hijau yang edisi Indonesianya diterbutkan Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1995. Buku ini diawali oleh ‘bapak pers’, Mochtar Lubis.

photo
Buku 'Tirai Kemiskinan dan Tantangan-tantangan untuk dunia ketiga' karya Mahbub ul Haq.

Dalam buku itu Mahbub menceritakan betapa sebuah bangsa kadang terkejut mengenai keadaan buruk dirinya. Dia mencontohkan dengan kondisi Pakistan tahun 1968, yakni sebelum Pakistan terbelah dua menjadi Pakistan dan Bangladesh. Mahbub menulis begini:

…Pada bulan April 1968 saya berbicara kembali di Karachi (sebelumnya pada wal tahun 1968 berceramah di Universitas Mc Gill). Saya peringatan negara saya terhadap gejala semakin terpusatnya kekayaan dan pendapat industri tergenggam dalam tangah hanya 22 keluarga. Saya kemukakan betapa kelompok keluarga ini menguasai 2/3 kekayaan perindustrian, 80 % bidang perbankan, dab 70 % bidang asuransi di Pakistan.

Saya tekankan pula akibat politik dan akibat sosial yang terkandung dalam pola pembangunan semacam ini, pola yang selama dasawarsa sebelumnya mengakibatkan lebarnya jurang perbedaan pendapatan per kepala antara Pakistan Timur (Bangladesh sekarang) dan Pakistan Barat (Pakistan sekarang), yang mengakibatkan turunnya upah nyata pekerja industri, yang terpusat di beberapa kota besar, sebesar 1/3.

Jelas sekali, bagian terbesar rakyat tidak tersentuh sama sekali oleh kekuatan-kekuatan pembawa perubahan ekonomi, karena pembangunan timpang dan menguntungkan segelintir orang saja. Salah satu petunjuk mengejutkan ketimpangan ini terlibat dalam pembagian pelayanan masyarakat dan pelayanan pribadi.

Selama dasa warsa 1958-1968, Pakistan mengimpor atau merakit mobil pribadi senilai $ 300 juta, tetapi dana yang dapat disediakannya untuk bus umum hanya $ 20 juta. Dan dalam dasawarsa ini pula, sekitar 80-90% bangunan yang didirikan pihak swasta mau tidak mau harus digolongkan ke dalam golongan ‘rumah mewah’ apa pun batasan yang tidak diterima untuk istilah ini.

Tidak mengerankan kalau ceramah saya mencetuskan gelombang rasa terkejut di seluruh Pakistan. Bukan perkara mudah bagi saya mengambil keputusan untuk mengutarakan di depan umum pendapat saya yang bertentangan dengan kebijakan pemerintah sedang saya anggota pemerintah itu. Saya waktu itu Kepala Ahli Ekonomi di Dewan Perencanaan Nasional, dan apa yang saya ucapkan bersifat kecaman pedas atas kebijakan yang dijalankan yang dijalankan pemerintah selama jangka waktu saya terlibat dalam pembangunan berencana…

….Setelah gelombang rasa terkejut yang pertama mulai mereda, Presiden Ayub (Presiden Pakistan kala itu,red), berpikir jauh ke depan, meminta saya menyusun program darurat untuk mengurangi ketimpangan ekonomi sosial dalam sistem yang ada. Sayang, ia jatuh dalam pemerintahan beberapa bulan ke depan…

Kalau kita hendak menilai peranan 22 kelompok keluarga terkaya di Pakistan itu sekarang ini, kita harus meninjau kembali hubungan dengan sistem kapitalisme yang sedang berkembang di negara itu, sejak beberapa waktu yang lalu. Kasarnya sistem kapitalisme Pakistan (kala itu, red) merupakan sistem kapitalisme yang paling primitive di dunia. Dalam sistem ini feodalisme ekonomi masih merajalela. Segelintir orang, apakah tuan tanah, pengusaha, atau pejabat pemerintah mengambil semua keputusan yang penting-penting dan sistem itu berjalan  seringkali hanya karena ada kerjasama antara berbagai kelompok kepentingan…

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement