Ahad 01 Apr 2018 05:09 WIB

Mahbul ul Haq, Kesenjangan: Belajar dari Politik Pakistan

Kaum muslim harus punya komitmen yang jelas terhadap segala masalah bangsa.

Para tokoh membuka Konggres Umat Islam Sumatra Utara di Medan (30/3). Pembukaan acara di tandai dengan pemukulan Gondang 9.
Foto:
Tingkat kemiskinan di era pemerintahan Jokowi-JK

Pada masa kini, apa yang dikatakan Mahbub ternyata dalam banyak hal sudah terjadi di Indonesia. Data yang tersebar di media masa pada Desember tahun lalu mengungkap kenyataan terjadinya kesenjangan itu. Menurut majalah Forbes ada 50 orang terkaya di Indonesia. Urutan nomor 1 hingga 10 nama-nama yang sangat familiar di sini. Ada nama pemilik bank, perusahaan rokok, Perusahaan farmasi, properti hingga pengusaha lainnya.

Berbagai data lain yang tersebar di media masa juga menyatakan bila ketimpangan kekayaan antara orang kaya dan miskin di Indonesia termasuk paling buruk di dunia. Ada data yang menyatakan: berdasarkan survei lembaga keuangan Swiss, Credit Suisse, 1 persen orang terkaya di Indonesia menguasai 49,3 persen kekayaan nasional. Kondisi ini hanya lebih baik dibanding Rusia, India, dan Thailand.

Uniknya lagi, tulisan itu juga berdasarkan laporan dari Badan Pusat Statistik, per Maret 2016 Indek Gini Ratio di Indonesia berada di angka 0,397. Meski mengalami penurunan, tingkat ketimpangan tersebut masih jauh dari target pemerintah. Pada 2019, pemerintah menargetkan nisbah Gini turun hingga 0,36.

Alhasil. Lanjut data itu, besarnya kesenjangan juga terlihat pada penguasaan orang-orang kaya di sektor perbankan. Dana bank di Indonesia didominasi oleh pemilik rekening di atas Rp 2 miliar. Meskipun hampir 98 persen jumlah rekening di bank dimiliki oleh nasabah dengan jumlah tabungan di bawah Rp 100 juta.

Yang paling nyata sekaligus menohok adalah data Direktur Eksekutif Greenomics Indonesia, Vanda Mutia Dewi, yang juga tersebar ke publik. Dia mengatakan bila lebih dari 90 persen izin perkebunan yang telah diterbitkan itu, merupakan izin-izin ekspansi perkebunan sawit yang diberikan kepada para pelaku bisnis.

"Izin-izin perkebunan yang diberikan pada era Presiden Joko Widodo, seluas lebih dari 200 ribu hektar, atau di bawah 9 persen," kata Vanda Mutia Dewi, dalam keterangan persnya, Rabu (21/3/2018). Dia menyebut dua menteri kehutanan di era pemerintahan sebelumnya juga membagi-bagikan tanah kepada berbagai industri perkebunan. Bahkan, jumlahnya lebuh luas lagi.

Vanda tampak mencoba menjernihkan persoalan. Ini karena sebelumnya, muncul pernyataan Amin Rais memicu polemik itu, Ketua Dewan Penasehat Partai Amanat Nasional (PAN), sekaligus tokoh reformasi menyebut program pembagian sertifikat pemerintahan Jokowi hanya pembohongan. Nyatanya, menurut dia, 74 persen negeri ini dimiliki kelompok tertentu.

Pertarungan wacana menjadi semakin seru ketika berbagai ekonom kemudian juga meributkan besaran utang Indonesia. D satu sisi pihak menteri keuangan menyatakan utang masih  terkendali, pihak yang lain mulai was-was. Bahkan ekonomi Indef menguarkan pernyataan mengangetkan bila utang indonesia bila digabung dengan utang swasta sudah mencapai Rp 7000 trliun.

Sengkarutnya lagi, Mantan Menteri Keuangan dan Dirjen Pajak, Fuad Bawazier membenarkan data Indef itu, Dia mengatakan bila utang pemerintah selama 3 (tiga) tahun lebih pemerintahan Jokowi naik sekitar Rp 1200Triliun, jauh melebihi kenaikan pendapatan pajak yang stagnan sebagai ukuran kemampuan bayar utang.

“Pemerintah selalu berdalih bahwa utang negara yang kini berjumlah Rp 4000triliun atau sekitar 29,5% dari PDB adalah masih jauh dibawah ketentuan Undang-undang Keuangan Negara yang batas maksimalnya 60% PDB, dan jauh pula dibawah ratio utang negara-negara lain. Utang Jepang yang sering dijadikan pembanding ratio utangnya terhadap PDB jauh diatas 200% tetapi Jepang mempunyai  ciri-ciri tersendiri,’’ kata Fuad Bawazier.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement