Jumat 02 Feb 2018 17:45 WIB

Meski Ulama Dianiaya, Masyarakat Harus Cerdas Melihatnya

Kekisruhan dan keseraman sudah sering terjadi di wilayah negara tercinta ini.

Satreskrim Polrestabes Bandung menggelar prarekonstruksi penganiayaan komandan brigade PP Persis di Blok Sawah, Kelurahan Cigondewah Kidul, Kecamatan Bandung Kulon, Kota Bandung, Jumat (2/2)
Foto: Zuli Istiqomah/Republika
Satreskrim Polrestabes Bandung menggelar prarekonstruksi penganiayaan komandan brigade PP Persis di Blok Sawah, Kelurahan Cigondewah Kidul, Kecamatan Bandung Kulon, Kota Bandung, Jumat (2/2)

REPUBLIKA.CO.ID -- “Tentu saya prihatin dan berbelasungkawa terhadap dua tokoh yang dianiaya. Salah satunya meninggal!” Pernyataan ini ditegaskan Ahmad Heryawan (Aher) saat ditemui  wartawan di Gedung Sate, Jalan Diponegoro, Kota Bandung, Jumat (2/2).

Semenjak kemarin, publik Musim, khususnya di Jawa Barat, bertanya-tanya apa yang sedang terjadi di sana. Ini menyusul dalam waktu berdekatan munculnya dua kasus penganiayaan. Yang pertama adalah kasus tindak kekerasan kepada pimpinan pesantren Umar Bisri. Dia mengalami luka parah di bagian kepala. Dia pun harus di rawat di sebuah rumah sakit. Beruntung kondisinya kini membaik. Nyawanya pun selamat.

Kasus kedua dialami Komando Brigade PP Persis, Prawoto. Tak seperti Umar Basri, Prawoto meninggal dunia setelah sempat koma.  Tentu saja kasus ini membuat prihatin umat Islam di sana. Apalagi ada dua kesamaaan dari dua kasus itu. Yakni, pertama pelakunya diduga mengalami gangguan jiwa. Kedua, sama-sama orang atau anggota Persis.

Kasus ini tentu menarik perhatian. Apalagi ini mengangkut akan adanya Pilkada gubernur di Jawa Barat. Semua telah mahfum Jawa Barat adalah daerah penting. Dari zaman dahulu adalah pusat kekuatan politik Islam. Jawa Barat hanya terkekuk oleh Partai Golkar saja. Jadi publik tentu bertanya-tanya apa yang terjadi kini dengan Jawa Barat? Apakah ini manuver politik? Lalu siapakah pelakunya? Benarkah orang gila itu?

                                                                  

                                                                                          ****

Terkait perilaku orang gila, dulu di zaman Orde Baru ada saja isu ‘seram’ ketika hendak ada ajang politik, misalnya pemilu atau Sidang Umum MPR. Saat itu tersebar berita mengenai hantu pocong yang bergentayangan menakuti warga kampung yang saat itu belum ada listrik. Uniknya setelah dicari, ternyata ketahuan pelakunya orang tidak waras atau gila.

Di zaman awal reformasi pula ada yang namanya ‘Operas Naga Hijau’. Hasilnya para kyai kampung yang saat itu banyak dituduh sebagai dukun santet terkena pembunuhan. Aksi ini terjadi dulu di Tasikmalaya, dan yang paling parah adalah daerah Banyuwangi. Berbagai penyelidikan indipenden telah digelar. Hasilnya sampai sekarang hanya masyarakat bisa meraba dan mengira-ira belaka. Presiden Gus Dur dulu hanya menyebut pelakunya sebaga seorang kunyuk saja.

Setelah itu ada aksi Kolor Ijo yang juga terjadi tak lama dari reformasi. Masyarakat sekitar Jakarta geger ketika ada kabar seseorang berkolor hijau melakukan aksi kekerasan sesksual kepada para wanita. Uniknya, sampai sekarang pelakunya tetap kabur. Isu ini hilang sendiri.

Dan kemudian setelah aksi ini muncul geger pula ketika ada seseorang yang mengaku ada gambar Yesus yang tiba-tiba muncul di sebuah tembok di kampung Kali Pasir, Jakarta Pusat. Lagi-lagi geger ini kemudian hilang dengan sendirnya.

Dulu di awal 1980-an muncul penembakan misterius (Petrus). Tubuh-tubuh tak bernyawa dengan luka tembak yang didindikasikan para penjahat dengan ciri orang bertato —di Yogyakarta dulu angota Gali — bergelimpangan di jalanan atau tempat terbuka. Di Jakarta —Harian Pos Kota — sempat melaporkan banyak tubuh  tak bernyawa tergeletak begitu saja di depan gedung bioskop. Sampai kini kekerasan ini belum ketahuan dan ada hukum yang jelas mengenai pelakunya. Yang pasti masyarakat saat itu terteror dan ketakutan.

Pada saat yang hampir sama dengan aksi Petrus juga muncul aneka pengeboman. Beberapa orang diantaranya diadili dan dihukum tembak mati. Usai kasus ini kemudian pada tahun 1984 muncul Peristiwa Tanjung Priok. Amir Biki dan rekan-rekannya telah menjadi korban.

photo
Peristiwa tragedi Tanjung Priok, September 1984, (Foto:wikipedia).

                                                                                 *****

Bila melihat ke belakang lagi, kekisruhan dan keseraman sudah sering terjadi di wilayah negara tercinta ini. Dulu misalnya sebelum perang Diponegoro juga ada hal yang hampir sama. Wilayah kerajaan Mataram Islam, saat itu pun telah luluh lantak. Di samping meluasnya wabah kolera, kerajaan itu telah tercabik karena perang. Yogyakarta pun telah kalah dan jatuh ke tangan  bala tentara Inggris  yang isinya kebanyakan legiun Gurkha.

Jumlah para tentara penyerang ini tak seberapa. Tapi mereka telah bisa menaklukan benteng Istana Yogyakarta yang kuat, berjagang (dikelilingi parit), serta dijaga pasukan Mataram. Kenangan pada awal 1800-ini jelas kenangan yang pahit. 40 cikar membawa aneka serat Jawa ke Inggris lewat pelabuhan Semarang.

photo
Raja Jawa dengan 'eyangnya' yakni gubernur jendral Hindia Belanda. Foto: Gahtena.nl

Ada kisah kala itu mengenai seorang putri kerajaan yang menangis sedih ketika dipaksa menunjukan intannya yang sebesar jempol kaki yang dia simpan di dalam sumur. Waktu itu komandan tentara Inggris memaksa untuk menunjukannnya. Peristiwa ini oleh Sultan Yogyakarta dulu sempat disebut sebagai perampokan besar-besaran. Dan tak lama kemudian Mataram Islam Jogyakarta pecah. Kemudian berdirilah kerajaan Pakulaman.

Dan benar saja, hampir bersamaan itu kemudian muncul Perang Jawa yang dipimpin Pangeran Diponegoro. Rakyat banyak mendukung mereka karena hidup dalam kesusahan dan penderitaan hidup. Bersama ulama sufi Pangeran Diponegoro kemudian angkat senjata meletupkan perang atas nama Ratu Adil. Pada peridoe tiga tahun pertama berhasil mencapai kemenangan. Tapi dua tahun berikutnya mengalami kekalahan. Pangeran Diponegoro pada awal tahun dan bertepatan dengan perayaan Idul Fitri tahun 1830 ditangkap. Dia kemudian dibuang ke Manado dan ke Makasar sampai meninggal pada tahun 1850-an.

Dan, setelah itu teradi perubahan yang besar dalam lanskap jawa. Ini terjadi bukan hanya dalam bidang sosial dan pemerintahan saja. Tapi, terjadi perubahan sosial dalam bidang keagamaan.

photo
Diponegoro bersama pasukannya di tepi sungai Progo. (foto:gahetna.nl)

Dalam bidang sosial dan pemerintahan munculah kemudian tanam paksa. Selain itu dalam bidang pemerintahan Sultan Yogyakarta benar-benar  bertindak hanya sebagai lambang saja. Yang memerintah sebenarya adalah Patihnya sebagai wakil gubernur jendral Belanda di Batavia. Saat itu timbul sebutan ‘eyang’ untuk sang gubenur jendral Belanda.

photo
Seorang santri di Jawa Barat tahun 1900-an. foto: Gahetna.nl

Dalam bidang keagamaan, akibat kekalahan perang Diponegoro antara raja dan para pangeran (priyayi) di kerajaan Mataram Islam dipisah dari kehidupan pesantren. Mereka harus kawin dengan sesama kaum priyayi dan tak lagi dibolehkan oleh kebijakan kolonial menikahi anak kyai atau santri. Cerita seperti episode hidup pujangga Ranggawarsita atau sosok Pangeran Diponegoro yang belajar di pesantren mulai saat itu tak ada lagi. Penyebaran agama kristen dan pendirian gereja yang pada zaman VOC dilarang, mulai saat itu diperbolehkan. Misi zending masuk ke rumah dan keidupan orang Jawa. Salah satunya adalah munculnya misi Kiai Sadrach di selatan Purworejo pada tahun 1850-an.

Tapi benarkan Jawa kemudian terbebas dari isu seram dan hal-hal yang berbau kekerasan? Ternyata tidak sama sekali. Perlawanan rakyat meskipun bersifat tak lagi masif terus terjadi. Kejahatan — seperti pencurian, perampokan — terus berlangsung merata. Di Jawa Tengah bagian utara, sekitar Pekalangonan, misalnya kemudian muncul perlawanan bersenjata yang dipimpin seorang kiai dari pesantren. Jawa terus ribut. Kekerasan kemudian meluas ke Banten dengan perlawanan petani dan para haji di Banten. Banyak orang dihukum gantung dan di asingkan ke berbagai penjuru tanah air dan kawasan luar negeri yang saat itu dikuasai Belanda.

Lalu bagaimana dengan seputaran Batavia (Jakarta sekarang)? Jawabnya pun sama. Pada 1740-an terjadi pemberontakan orang Cina di Batavia. Setelah gagal mereka ini lari ke Mataram yang saat itu belum terpecah di Surakarta dan menciptaan Geger Pacinan dan melahirkan sebuah sultan yang di Jawa dikenal dengan sebutan Sunan Kuning. Nah, setelah geger Pacinan dan Perang Diponegoro usai, Kerusuhan di Pekalongan usai, dan juga Pemberontakan Petani Banten tamat.

photo
Sebuah rumah di tepian Ciliwung Jakarta. 1911. Foto:gahtena.nl

Kemudian pada saat 1900-mulai muncul lagi rasa ketidaknyamanan di masyarakat sekitar Batavia. Saat itu muncul jagoan atau jawara Pitung dan kawan-kawan. Uniknya mereka dicintai orang pribumi hanya karena merampok atau mencuri harta tuan tanah dan orang kaya. Nama Pitung semakin harum setelah membagi-bagikan hasil rampokannya kepada rakyat. Namun Pitung pun berhasil ditumpas. Dia konon ditembak dengan peluru emas.

Tak beda zaman dengan Pitung, di Jatinegara muncul perlawanan Entong Gendut. Dia tak terima ketika lahannya diambil begitu saja oleh antek kolonial Belanda. Pertempuran terjadi. Entong Gendut tewas dengan mengenakan ikat kepala putih sebagai tanda bahwa ia memimpin perlawanan atas nama Ratu Adil.

Berbagai kekerasan kecil di Batavia terus meletup hingga zaman Jepang dan datangnya zaman Kemerdekaan. Ingat kemerdekaan juga harus berterima kasih kepada para jawara dan mereka yang saat itu oleh pemerintah Belanda dikenal sebagai preman, tukang pukul, bahkan tukang rampok. Merekalah yang berjuang di pihak RI pada awal proklamasi kemerdekaan. Pada saat itu di kawasan pantai utara Jawa pun terjadi kekerasan kembali dengan meletupnya Peristiwa Tiga Daerah.

Deman isu dan kekerasan terus berlanjut hingga zaman Pemilu 1955 sampai 1965 saat PKI mulai ditumpas. Jakarta pun terbelah dengan aksi-aksi politik. Berbagai pidato dan agitasi murahan muncul. Dan puncaknya kemudian pada gerakan G30S PKI yang terkenal itu. Berbagai orang terbunuh, lari, dan ditangkapi.  Situasi kisruh ini terus menjalar hingga kemudian mulculnya kekerasan Malari pada 15 Januari 1974. Lagi-lagi rakyat menjadi korban dan obyek penderitanya. Siapa pelaku yang sebenarnya masih kabur. Yang muncul kemudian hanyalah para kambing hitam. Rangkain kekerasan inilah yang kemudian mengular sampai datangnya zaman reformasi di tahun 1998.

                                                                      ****

Lalu siapa pelaku pembunuhan anggota Persis di Jawa Barat yang sebenarnya. Nah, di sini semua harus cerdas dan terus menunggu hasil investasi pihak kepolisian. Yang jelas siapa pelakunya, biar hukum, waktu, dan sejarah mencatatnya!

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement