REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kuasa Hukum terdakwa kasus proyek pengadaan KTP-el Setya Novanto, Firman Wijaya, mengungkapkan, kliennya tidak menduga tuntutan yang diberikan oleh Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sampai 16 tahun penjara. Padahal, Novanto sudah menunjukkan keinginan bekerja sama dengan KPK membongkar kasus tersebut.
Apalagi, lanjutnya, kliennya sudah menyesali perbuatannya di pengadilan. "Tuntutan 16 tahun itu tidak diperhitungkan (Novanto) setinggi itu. Karena selama ini kan ya beliau sudah menyesali perbuatannya," kata dia kepada Republika.co.id, Jumat (30/3).
Namun Firman mengakui, tidak ada pedoman tertentu dalam memberikan tuntutan kepada terdakwa. Karena ini pula, pemberian tuntutan oleh jaksa bersifat subjektif dan dapat mengabaikan beberapa hal yang sebetulnya bisa meringankan tuntutan.
"Ketika menjatuhkan tuntutan 16 tahun ini kan memang enggak ada dasarnya, jadi tidak ada ukurannya dan menjadi sesuatu yang subjektif," tutur dia.
Semestinya, lanjut Firman, jaksa KPK dalam memberikan tuntutan itu juga mempertimbangkan keinginan Novanto menjadi justice collaborator (JC) dalam kasus KTP-el. "Mestinya dipertimbangkan JC itu, karena ini kan pilihan seseorang sebagai warga negara," katanya.
Firman pun menyayangkan sikap KPK yang abai terhadap keinginan Novanto menjadi JC. Menurutnya, dari kondisi kliennya ini, bukan tidak mungkin pihak-pihak yang menjadi kunci di sejumlah kasus besar jadi enggan mengajukan JC.
"Kenapa tidak diterima saya i mengerti dengan cara pikir KPK ini, harusnya kalau sesuai aturan, Pak Novanto sudah memenuhi syarat untuk menjadi JC," tuturnya.