REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Tata Kota Nirwono Joga menuturkan, pemberhentian operasional tempat hiburan malam tidak terhenti pada penutupan Alexis. Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta harus adil dan tidak melakukan tebang pilih terhadap tempat hiburan sejenis Alexis yang dianggap memiliki konteks negatif.
Apabila setelah ini langkah Pemprov DKI Jakarta terhenti atau cenderung terlambat, maka kebijakan penutupan Alexis patut dipertanyakan. "Apakah fokus ke Alexis karena ada dendam, ada persoalan personal di mana penutupan ini jadi bagian dari kampanye Anies Baswedan-Sandiaga Uno atau ada alasan lain," ujar Nirwono ketika dihubungi Republika.co.id, Kamis (29/3).
Sebelum menutup tempat hiburan, Nirwono menegaskan agar Pemprov DKI Jakarta memiliki data dan kajian terlebih dahulu. Mereka harus mempunyai dasar kriteria tempat seperti apa saja yang harus ditutup atau masih bisa beroperasi. Langkah ini patut dilakukan demi menciptakan kebijakan yang adil dan tidak terkesan pilih kasih.
Apabila kriteria sudah dirancang dan dibuat dalam peraturan, dia mengatakan, Pemprov DKI Jakarta bisa membuat surat keputusan yang berlaku untuk semua tempat hiburan. "Jangan satu tempat satu SK (Surat Keputusan) Gubernur, itu malah tidak benar karena terkesan tebang pilih. Jadikan SK sebagai surat sakti yang dapat berlaku untuk semua tempat dilarang," ucap Nirwono.
SK Gubernur ini juga bisa berfungsi untuk mencegah munculnya tempat hiburan serupa secara sporadis di wilayah lain Jakarta. Apabila sudah menyebar, Nirwono melihat, pemerintah akan lebih sulit dalam menertibkannya.
Sebelumnya, Pemprov DKI memberi waktu PT Grand Ancol Hotel yang menaungi Alexis untuk menghentikan semua kegiatan usahanya hingga Rabu (28/3). Pemerintah menilai perusahaan tersebut telah melanggar Perda Nomor 6 Tahun 2015 tentang Kepariwisataan. Terdapat enam jenis usaha yang ditutup, di antaranya hotel, griya pijat, tempat karaoke dan bar.