REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Tata Kota Yayat Supriatna menjelaskan, penghentian operasional Alexis menjadi titik awal uji coba Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta untuk menghentikan aktivitas perdagangan manusia di Jakarta. Setelah ini, pemerintah akan kembali dilihat apakah memiliki cukup keberanian untuk menutup tempat serupa atau tidak di lokasi lain.
Penutupan Alexis tidak sekadar berbicara tentang adanya prostitusi atau tidak. Yayat menjelaskan, poin yang harus didengungkan adalah bebas perdagangan manusia.
"Jadi, intinya pada pemberdayaan dan penyelamatan persoalan kasus perdagangan manusia, bukan persoalan prostitusi," ujarnya ketika dihubungi Republika.co.id, Kamis (29/3).
Keputusan Pemprov DKI Jakarta sebaiknya tidak dilihat sebagai upaya penutupan usaha, melainkan ajakan untuk berusaha lebih adil dan baik demi kepentingan masyarakat. Apabila pemerintah berani menindaklanjuti kegiatan serupa, Yayat optimistis, kesan bahwa Jakarta identik dengan stigma negatif bisa dihilangkan.
Terkait kecemasan adanya dampak terhadap iklim investasi, Yayat tidak melihat hal itu akan terjadi. Justru, dengan penutupan Alexis, pengusaha makin diperlihatkan bahwa mereka boleh membuka usaha apa pun asal tidak melanggar peraturan.
"Keputusan ini juga mampu menguatkan kesan bahwa hotel bisa maju tanpa ada esek-esek di dalam," tutur pengajar di Universitas Trisakti itu.
Penutupan tidak lantas menutup total bisnis Alexis. Justru, Yayat menuturkan, Alexis masih bisa mengembangkan lini usahanya secara lebih terbuka dan positif. Mereka bisa mengajukan izin dari awal dan mengganti nama untuk mengubah citra negatif yang sudah telanjur melekat.
Sebelumnya, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan meminta kepada Alexis untuk menghentikan kegiatan seluruh unit usahanya dengan tenggat waktu sampai Rabu (28/3) malam. Apabila tidak ada jawaban atau penutupan maka hari ini Pemprov DKI Jakarta segera bertindak.