REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Ketua Komite III Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, Fahira Idris menyesalkan kembali terjadinya kekerasan terhadap anak kembali terjadi. Kali ini benar-benar menyesakkan dada karena korbannya masih bayi (15 bulan) yang meninggal dunia diduga akibat penganiayaan ibu kandungnya sendiri. Bayi bernama Calista yang sempat dirawat di RSUD Karawang ini sempat koma beberapa hari sebelum menghembuskan napas terakhirnya.
Fahira juga mengeluhkan, peristiwa ini menandakan masih banyak orang tua yang menganggap melakukan kekerasan fisik kepada anak kandungnya sendiri adalah haknya sebagai orang tua. Mindset masyarakat terutama sebagian besar orang tua harus diubah bahwa kekerasan terhadap anak bukan urusan internal keluarga atau ranah privat, tetapi tindakan kriminal.
"Ada undang-undangnya, ada ancaman hukuman, jika orang tua melakukan kekerasan terhadap anak, walau itu anak kandungnya sendiri. Karena itu tindakan kriminal," tegas Fahira dalam siaran pers yang diterima Republika.co.id, Selasa (27/3).
Kata Fahira, lemahnya sosialisasi UU Perlindungan Anak yang dilakukan Pemerintah, terutama kepada para orang tua, terkait hak-hak anak dan belum optimalnya kampanye bahwa kekerasan terhadap anak adalah kejahatan yang luar biasa, sehingga masih ada orang tua yang menganggap sah-sah saja melakukan kekerasan fisik terhadap anaknya sendiri.
"Dari interaksi saya dengan para orang tua di hampir semua daerah di Indonesia, masih banyak yang belum tahu bahwa kita ada undang-undang perlindungan anak. Padahal, undang-undang ini umurnya sudah 15 tahun. Mereka masih berpikir, apa yang mereka lakukan terhadap anaknya adalah urusan dirinya pribadi," tambahnya.
Menurut Fahira, apapun alasannya yang melatarbelakangi sang ibu melakukan kekerasan terhadap anak kandungnya hingga meninggal, termasuk himpitan ekonomi, tidak boleh menjadi celah untuk memaklumi kekerasan ini. Dia berharap, proses hukum terhadap ibu kandung bayi Calista, harus terus berlanjut ke pengadilan.
Memang ada pertimbangan kasus ini diselesaikan di luar pengadilan. Mengingat, selain kekerasan ini akibat himpitan ekonomi, tersangka juga ternyata masih memiliki seorang anak lagi berusia 6 tahun. Namun, jika diselesaikan di luar pengadilan akan jadi preseden yang sangat tidak baik. Akan lahir persepsi di masyarakat bahwa kekerasan orang tua terhadap anak bisa dimaklumi karena himpitan ekonomi.
"Persepsi ini kan berbahaya dan bisa memarakkan aksi kekerasan terhadap anak. Apapun alasannya tidak boleh ada kekerasan fisik terhadap anak-anak. Biarkan nanti hakim yang mempertimbangkan dan memutuskan sanksi hukum seperti apa yang harus diterima tersangka," papar senator Jakarta ini.
Terkait hak asuh anak tersangka yang masih berusia 6 tahun, memang sesuai UU Perlindungan Anak, orang tualah yang harus bertanggung jawab. Namun ada catatan khusus yaitu bila orang tua anak sedang terjerat kasus hukum, maka negara berhak mengambil alih hak asuh anak atau hak asuh anak dapat dipertanggungjawabkan ke keluarga terdekat.