REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur eksekutif Indo Barometer Muhammad Qodari mengatakan, Partai Amanat Nasional (PAN) bisa jadi faktor penentu dapat terbentuk atau tidaknya Koalisi 212 di Pilpres, bersama dengan Gerindra, PKS dan PBB. Saat ini PAN dinilai belum menentukan sikap dengan tegas, apakah akan berkoalisi mendukung Joko Widodo (Jokowi) atau Capres lainnya di Pilpres 2019.
Qodari mengatakan, jika PAN nanti bergabung ke Jokowi, ia mengatakan akan sulit jika itu dikatakan sebagai Koalisi 212. Sebab, PAN tidak ada di dalam koalisi tersebut. Sebaliknya, jika PAN mendukung Prabowo Subianto atau calon penantang Jokowi lainnya, ia mengatakan koalisi 212 cukup bisa diterima.
Ia mengatakan, aksi massa 212 pada 2 Desember 2016 menurutnya adalah gabungan dari berbagai macam kepentingan, yakni mulai dari isu agama dan politik. Menurutnya, isu politik tidak bisa dinafikan. Karena saat itu, lawan-lawan Jokowi berkumpul di sana. Jika melihat kepentingan kelompok-kelompok Islam dan politik, saat itu memang terdapat Gerindra, PAN, PKS, PBB. Namun, yang menjadi pertanyaan, menurutnya, PAN akan mendukung siapa pada Pilpres 2019 nanti.
"Menurut saya, koalisi 212 itu baru bisa berlaku jika ada PAN di situ. Kalau PAN tidak ada di situ, tidak bisa disebut koalisi 212 atau bisa dikatakan pincang kekuatannya. PAN dalam hal ini jadi faktor penentu," kata Qodari, saat dihubungi Republika.co.id, Ahad (25/3).
Qodari mengatakan, sosok Prabowo memang mendapat dukungan dari beberapa partai berbasis massa Islam pada Pilpres 2014. Saat itu, ada banyak partai Islam, seperti PAN, PKS, PPP yang berada di belakang Prabowo. Sehingga, isu-isu Islam itu muncul dan sebagian seperti ada di belakang Prabowo.
Namun kini, dengan konstelasi politik yang belum terlalu jelas, ia menilai terbentuknya koalisi 212 itu pun belum jelas. Karena sebagian partai sudah berbalik ke Jokowi, seperti halnya PPP dan PKB. Sementara sebagian sudah menyatakan dukungan kepada Prabowo, seperti halnya PKS. Namun, PAN belum menunjukkan arah politiknya.
"Kita harus menantikan nanti ujungnya seperti apa koalisinya. PAN ini apakah ke Jokowi atau ke Prabowo. Kalau ke Prabowo, maka suara umatnya akan terbelah. Tetapi kalau ke Jokowi, suara umat cenderung lebih banyak ke Jokowi. Karena tiga partai Islam ada di sana," lanjutnya.
Qodari mengatakan, Habib Rizieq dengan para pendukungnya disebutnya sebagai variabel atau faktor tambahan. Karena Rizieq bukanlah ketua umum partai. Namun jika dilihat kecenderungannya, ia mengatakan Rizieq dan pendukungnya akan cenderung memilih calon yang diusung Gerindra, yakni Prabowo.
Namun, ia mengaku belum mengetahui apakah soliditas suara 212 akan kuat jika calon yang diusung adalah sosok Prabowo. Menurutnya, gerakan massa 212 ke kekuatan elektoral memiliki proses transformasi yang masih tanda tanya. Jika di wilayah sekitar Jabodetabek, ia mengatakan kekuatan gerakan 212 sudah terbukti dengan tumbangnya Basuki Tjahja Purnama (Ahok) dari jabatan Gubernur DKI Jakarta. Namun, kekuatan atau pengaruh gerakan 212 di tingkat nasional dikatakannya masih belum diketahui.
"Kekuatan atau pengaruh 212 itu skala nasional atau lokal saja? Kalau di Jabodetebek sudah terbukti, kalau di luar belum tahu," tambahnya.
Qodari juga mengatakan ia masih belum mengetahui bagaimana soliditas koalisi 212 jika yang diusung sosok selain Prabowo. Sebelumnya, nama-nama dari tokoh Islam muncul sebagai sosok calon capres atau cawapres pada Pilpres 2019. Nama-nama itu termasuk Gubernur NTB TGH Zainul Majdi atau Tuan Guru Bajang (TGB), Habib Rizieq, dan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.
Adapula nama-nama dari kalangan tokoh agama muncul dalam survei yang dilakukan Media Survei Nasional (Median) terkait elektabilitas sejumlah calon presiden 2019. Meski menyuguhkan 33 nama tokoh nasional kepada responden yang memiliki hak pilih, namun survei itu juga mempersilakan responden untuk mengajukan nama lain sebagai calon presiden. Nama Habib Rizieq dan Ustaz Abdul Somad muncul, meskipun keduanya tidak tercantum dalam daftar nama capres yang disodorkan Median. Dari hasil survei, elektabilitas kedua nama itu ialah sebesar 0,3 persen.