Ahad 25 Mar 2018 05:19 WIB

Menjadi Dewasa dalam Berbangsa

Lalu, untuk apa sebenarnya manusia takabur diri dan merasa paling digdaya?

Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir

REPUBLIKA.CO.ID Oleh: Haedar Nashir

Bani Israel mengalami kekacauan peradaban di tangan diktator Firaun, konglomerat hitam Qarun, dan birokrat korup Hammam. Adolf Hitler, Mussolini, dan para tokoh pongah mengobarkan Perang Dunia II sebagai tragedi kelam dalam sejarah abad modern.

Pada lintasan sejarah bangsa-bangsa di seantero buana selalu hadir sosok-sosok fasad fil-ardl yang merusak tatanan kehidupan. Jenghis Khan mengobarkan ekspansi yang mengalirkan darah jutaan insan. Prancis hancur di tangan rezim otoritarian Raja Luis XVI. Vietnam menjadi “The Killing Field” atau ladang pembantaian oleh tangan besi rezim Pol-Pot.

Dunia akhir-akhir ini juga menjadi gaduh oleh kepongahan presiden negara adidaya yang menjadikan Yerusalem sebagai ibu kota Israel secara sepihak. Sikap politik ultraradikal tersebut kian menambah arogansi Israel yang terus mengobarkan agresi di Timur Tengah. Sebuah kepongahan politik global yang sampai kapan pun akan menjadi sumber petaka kehidupan antarbangsa.

Sederet petualang dan pialang politik masih dapat didaftar dari A sampai Z di negeri mana pun. Mungkin tidak selalu memiliki posisi puncak dalam kekuasaan, tetapi memiliki sikap digdaya ala Hitler atau Firaun. Virus kuasa menjalar dalam dirinya hingga merasa paling perkasa untuk menebar ancaman dan berbuat sekehendaknya.

Para elite dan anak bangsa perlu belajar sejarah dari bangsa-bangsa lain dan di negeri sendiri dari sejumlah petistiwa dramatis akibat ulah sosok-sosok angkuh yang merasa paling berkuasa. Sikap pongah karena kuasa takhta, harta, ilmu, dan kedudukan apa pun yang menjadikan dirinya perkasa sering menyeret kehidupan pada anarki, yang serbagaduh dan kacau.

Virus digdaya

Takhta, harta, ilmu, dan segala kuasa dunia dapat menjadikan manusia pongah diri. Meski kuasa atas segala perhiasan dunia itu sifatnya nisbi dan fana, tidak jarang manusia lupa diri seraya menjadikannya mutlak dan abadi. Dari persepsi kuasa dunia yang diabsolutkan itulah tumbuh benih pongah, angkuh, sombong, dan takabur diri. Lalu lahirlah sikap-sikap sewenang-wenenang dan sekehendak diri yang melampaui takaran. Si empunya di mana pun dia berada selalu merasa diri paling digdaya.

Virus takabur diri mekar karena manusia merasa digdaya atau serbakuasa. Firman Allah yang artinya: “Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, karena dia melihat dirinya serbacukup.” (QS al-‘Alaq: 6-7).

Dalam hadis Nabi, ciri orang pongah atau takabur ialah batharu al-haq (menolak kebenaran) dan ghamtu al-nas (merendahkan orang lain). Dirinya merasa paling benar sehingga tidak mau menerima pandangan orang lain. Pendapat apa pun salah jika datang dari pihak lain meskipun isinya benar.

Sebaliknya, jika keluar dari kalangan sendiri, selalu dianggap benar meskipun salah. Salah dan benar bukan dari substansinya, melainkan dari mana datang muasalnya. Kebenaran menjadi sangat situasional bergantung pada subjeknya. Akibatnya, tak ada objektivitas dan keadilan, yang muncul subjektivitas dan sikap berat sebelah.

Sikap pongah juga ditunjukkan dengan perangai suka merendahkan orang lain. Karena merasa hebat dan kuasa, maka siapa pun direndahkan posisi dan martabatnya agar dirinya tetap kokoh. Mereka yang bertakhta memperlakukan buruk kepada siapa pun yang ada di bawahnya.

Mereka yang berharta memperlakukan kaum papa sekehendaknya, bahkan mengeksploitasinya. Mereka yang berilmu tinggi merendahkan orang awam dan siapa pun yang dianggap rendah pengetahuannya. Kepongahan itulah yang menjadikan siapa pun berperangai sewenang-wenang, rakus, dan ugal-ugalan seolah dirinya pemilik dan penentu segala denyut nadi kehidupan di muka bumi.

Kepongahan sebenarnya tidak menunjukkan kedigdayaan manusia, tetapi menggambarkan belum akil-balignya sang subjek selaku insan dewasa. Nabi bersabda yang artinya, “Orang pandai ialah orang yang rendah hati dan beramal untuk bekal sesudah mati. Dan orang bodoh ialah orang yang memperturutkan hawa nafsunya dan mengharapkan kepada Allah dengan berbagai harapan dan angan-angan hampa.” (HR Bukhari).

Sikap pongah itu meniru perangai Fuehrer dan Firaun yang secara langsung maupun tak langsung menunjukkan luruhnya jiwa hanif pada diri seseorang selaku makhluk Tuhan yang mulia.

Sungguh tak ada guna bersombong diri, baik dengan sesama Muslim maupun pihak lain. Sikap takabur itu sesungguhnya menunjukkan kedunguan manusia. “Dan janganlah engkau berjalan di bumi dengan berlagak sombong, karena sesungguhnya engkau tidak akan dapat menembus bumi, dan engkau tidak akan dapat menyamai setinggi gunung-gunung.” (QS al-Isra: 37).

Demikian peringatan Tuhan kepada siapa pun yang pongah dalam hidupnya. Nabi pun mengingatkan, ”Tidak akan masuk surga orang yang dalam hatinya ada sifat sombong walaupun hanya seberat biji sawi.” (HR Muslim).

Namun, virus kepongahan selalu bersembunyi dalam diri setiap insan yang merasa dirinya benar dan digdaya. Apakah pejabat, ilmuwan, hartawan, tokoh agama, hingga rakyat biasa jika terkena virus takabur diri sama perangainya berbuat sekehendaknya.

Dalam memperjuangkan kebenaran sekalipun, mereka yang terjangkiti virus takabur merasa paling benar sendiri sehingga menjadi true believer atau pemilik keyakinan buta yang berlebihan terhadap pikirannya sendiri. Dialah yang paling benar, pihak lain salah, sehingga selalu bersikap absolut paling benar sendiri.

Kuasa harta berlimpah dapat pula menjadikan siapa pun sebagai monster kehidupan ala Qarun. Segala aset bumi, air, udara, dan kekayaan negeri dikuasainya secara rakus hingga seluruh sudut negara menjadi miliknya. Mereka sedikit tetapi menurut World Bank dapat menguasai 55,5 persen kekayaan Indonesia.

Kelompok kecil ini dapat membeli apa pun, bahkan menjadi pemilik modal atau bohir dalam setiap kontestasi politik. Kuasa ekonomi berlebih inilah yang menyebabkan kesenjangan sosial tinggi dan mayoritas rakyat sengsara.

Kepongahan karena kuasa takhta tak kalah garang. Dengan kuasa di tangan, siapa pun secara leluasa dapat mengancam dan menentukan nasib orang lain secara semena-mena. Di masa Orde Lama, para ilmuwan kritis seperti Buya Hamka dan HB Jassin dipenjara. Rezim Orda Baru di ujung kekuasaannya juga mempraktikkan politik tangan besi.

Kedudukan tinggi sering membuat orang ugal-ugalan. Salah dan benar tidak peduli, yang penting perkasa. Negara dan bangsa seolah miliknya sendiri, lupa kalau negeri ini milik bersama seluruh komponen dan warga bangsa.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement