Ahad 25 Mar 2018 05:19 WIB

Menjadi Dewasa dalam Berbangsa

Lalu, untuk apa sebenarnya manusia takabur diri dan merasa paling digdaya?

Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir
Foto:

Para tokoh bangsa juga dituntut jiwa kenegarawanannya untuk mendahulukan kepentingan negara dan rakyat di atas segalanya. Bukan menuruti ego sendiri yang berlebihan. Beri keteladanan untuk satu sama lain saling mau bersilaturahmi, berdialog, bekerja sama, dan saling berbagi layaknya para negarawan sejati. Luruhkan ego-ego perkasa yang merasa diri paling benar dan digdaya seraya bangun kebersamaan antartokoh yang dapat memimpin bangsa ini makin maju dan berkeunggulan. Bukan saling menajamkan perbedaan dan silang sengketa yang menjadikan retak sesama anak bangsa serta membawa pada runtuhnya bangunan berbangsa dan bernegara.

Pada keyakinan buta setiap orang, di mana pun tidak akan pernah ada ruang dialog dan saling bertukar pandangan, yang mencuat ialah sikap saling memaksakan dan menegasikan. Pandangan ultranasionalis, ultraagamis, ultraideologis, serta berbagai pikiran ekstrem atau radikal pun keluar dari kepongahan jenis ini.

Masing-masing merasa benar sendiri sambil menutup diri dalam sangkar-besi apologia yang naif, kerdil, dan pongah. Setiap pikiran dan ujaran pun disertai aura marah dan keangkuhan. Ilmuwan pun dapat berubah menjadi kaum apologia yang angkuh dengan kuasa-ilmunya karena tak menyertakan kearifan dan sikap budi luhur.

Belajarlah pada sudut kelam dari sejarah bangsa ini agar tak diulangi hari ini. Para tokoh bangsa yang bersuara kritis digiring ke penjara karena berbeda pandangan dengan penguasa. Tak perlu ada palu godam keangkuhan kuasa dalam menyikapi suara kritis dan perbedaan pandangan.

Sikap kritis para elite pun tetap meniscayakan kearifan agar tampak elok dan berjiwa negarawan, seraya lapang hati membuka ruang dialog yang mencerahkan tanpa merasa benar sendiri. Semua pihak perlu saling menundukkan diri dalam keagungan sikap kenegarawanan sejati demi menjaga keutuhan dan masa depan negeri yang sarat masalah dan tantangan tak ringan.

Belajar pula pada jiwa kenegarawan tokoh bangsa di masa pergerakan dan awal Indonesia merdeka. Setajam apa pun perselisihan pandangan antara Soekarno dan Mohammad Natsir, keduanya masih membuka dialog dan saling menghormati dalam kenegarawanan yang tinggi. Natsir yang Islamis berkawan dekat dengan J Kasimo, tokoh Katholik yang rendah hati.

Natsir bahkan secara personal berhubungan baik dengan Aidit dan Hatta di kala terlibat dalam perdebatan sengit secara politik dan ideologi. Jejak emas para tokoh bangsa itu dapat menjadi pelajaran berharga bagi para elite bangsa saat ini untuk makin dewasa sebagai garda negarawan dan begawan nan cerdas bijaksana menuju Indonesia milik bersama yang berkemajuan!

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement