Jumat 23 Mar 2018 03:22 WIB

Masyarakat Perlu Ubah Perilaku untuk Kurangi Sampah Plastik

Gerakan pungut sampah plastik dan membawa kantong belanja sendiri harus dikembangkan.

Pekerja mengangkut sampah plastik (non organik) saat pegolahan sampah pasar dengan fasilitas mesin pengomposan di Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang, Bekasi, Jawa Barat, Rabu (21/3).
Foto: Republika/Mahmud Muhyidin
Pekerja mengangkut sampah plastik (non organik) saat pegolahan sampah pasar dengan fasilitas mesin pengomposan di Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang, Bekasi, Jawa Barat, Rabu (21/3).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Keberhasilan pengurangan sampah plastik dan limbah sebagai bagian dari pengendalian perubahan iklim sangat bergantung pada perubahan perilaku masyarakat. Sosiolog Linda Damajanti menyatakan, pengurangan sampah tidak bisa berhenti pada penyadartahuan tapi juga harus sampai pada perubahan perilaku masyarakat.

"Seringkali ditemukan masyarakat yang abai meski tahu bahwa sampah harus dikelola. Dan ini tidak terkait dengan tingkat pendidikan," katanya pada sesi khusus bertema "Program Berkelanjutan Pengurangan Sampah Plastik Berbasis Masyarakat Untuk Pengendalian Perubahan Iklim" pada Simposium Asia Tenggara ke 7 di Universitas Indonesia (UI), Kamis (22/3).

Untuk mengubah perilaku, Linda yang juga kepala Departemen Sosiologi UI itu menyatakan perlunya sebuah gerakan sosial yang melibatkan semua pihak. Gerakan seperti pungut sampah plastik atau membawa kantong belanja sendiri harus terus dikembangkan dengan dukungan kebijakan nasional.

"Gerakan itu harus melibatkan akademisi, pemerintah, pelaku usaha dan masyarakat," katanya. 

photo
Sejumlah petugas saat membersihkan sampah yang menumpuk di Muara Angke, Jakarta Utara. (Republika/Putra M Akbar)

Direktur Adaptasi Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Sri Tantri Arundhati menjelaskan, Indonesia telah meratifikasi Persetujuan Paris, sebagai bagian dari upaya global untuk memgendalikan perubajan iklim. Indonesia mencanangkan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) sebanyak 29 persen pada 2030 dari business as usual atau mencapai 41 persen dengan dukungan Internasional.

Dari target yang dicanangkan tersebut, pengelolaan sampah dan limbah berkontribusi sebanyak 0,38 persen. "Meski kecil, tapi menentukan keberhasilan pencapaian penurunan emisi GRK," katanya.

photo
Sampah mengalir lewat sungai hingga akhirnya menumpuk di Muara Angke, Jakarta Utara. (Republika/Mahmud Muhyidin)

Direktur Verifikasi Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) dan Non B3 KLHK Achmad Gunawan Widjaksono menambahkan pengelolaan sampah semakin menantang karena jenisnya kini semakin beragam. Dia juga mengingatkan, sampah yang dihasilkan masyarakat pun bisa dikategorikan beracun, seperti baterai, lampu neon, atau kaleng obat nyamuk.

Dalam kesempatan tersebut diserahkan dokumen masukan kebijakan pengelolaan sampah yang dihasilkan dari kajian Perkumpulan Ahli Lingkungan Indonesia (Indonesian Environmental Scientist Association/IESA) bekerja sama dengan APP-Sinar Mas. Hasil kajian tersebut dilakukan di Indah Kiat Tangerang, Indah Kiat Serang, dan Ekamas Fortuna Malang ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). 

Silvira Ananda dari IESA menuturkan, selain keterlibatan semua pihak, sejumlah rekomendasi juga disampaikan pada dokumen masukan kebijakan pengelolaan sampah plastik yang disampaikan IESA kepada KLHK. Termasuk di antaranya adalah mengembangkan materi edukasi untuk mengubah perilaku masyarakat.

Dalam dokumen tersebut, IESA juga mendorong adanya insentif bagi perusahaan swasta dan masyarakat yang mendukung program pengurangan sampah plastik. "Kami juga mendorong swasta untuk memproduksi produk pengganti plastik sebagai subsitusi seperti kertas misalnya katanya. 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement