Kamis 22 Mar 2018 21:40 WIB

KLH: 40 Persen Mata Air Hilang dalam Satu Dasawarsa

Diperlukan upaya masif untuk mengembalikan air ke dalam tanah.

Seorang penduduk mencari udang di antara tumbuhan air di Cisanti, kawasan hulu sungai Citarum, di Desa Tarumajaya, Kecamatan Kertasari, Kabupaten Bandung, Selasa (20/2).
Foto: Republika/Edi Yusuf
Seorang penduduk mencari udang di antara tumbuhan air di Cisanti, kawasan hulu sungai Citarum, di Desa Tarumajaya, Kecamatan Kertasari, Kabupaten Bandung, Selasa (20/2).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Selama 10 tahun terakhir sekitar 20 sampai 40 persen mata air di Indonesia mengering dan hilang karena degradasi daerah tangkapan air. Karenanya, diperlukan upaya masif untuk mengembalikan air ke dalam tanah dan konservasi di daerah tangkapan air.

"Perlu konservasi seperti penanaman pohon dan upaya pengembalian air ke dalam tanah di daerah hulu untuk mengembalikan debit mata air yang mulai menurun, " kata Direktur Perencanaan dan Evaluasi Pengendalian Daerah Aliran Sungai Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Yuliarto Joko Putranto di Jakarta, Kamis (22/3).

Pada Lokakarya Nasional Konservasi Air Tanah melalui Sumur Resapan itu, Yuliarto mengungkapkan, inventarisasi terakhir jumlah mata air di Indonesia tercatat 10.321 namun laju hilangnya mata air mencapai 20 sampai 40 persen dalam kurun waktu 10 tahun.

"Penelitian tentang mata air di daerah Solo, mengungkap hilangnya mata air mencapai 40 persen selama kurun waktu 10 tahun terakhir," katanya.

Menurut dia, program meningkatkan cadangan air tanah melalui penanaman pohon dan sumur resapan harus terus digalakkan dan pemda harus berani membuat perda untuk melindungi cadangan air tanah. "Kita sudah buat penelitian tentang 15 jenis tanaman yang efektif memperbaiki daerah tangkapan air," katanya.

Ia mengungkap, saat ini sudah terbangun sekitar 11.000 sumur resapan dan jumlah itu sangat kecil dibanding kebutuhan untuk menyelamatkan cadangan air tanah. Program meningkatkan cadangan air tanah itu sebagian bagian dari upaya untuk menyelamatkan kondisi daerah aliran sungai (DAS) yang sudah kritis.

"Saat ini dari 17.000 DAS, 2.400 diantaranya sudah dalam keadaan kritis, sebagian besar ada di Jawa," katanya.

Ia sangat mengapresiasi sejumlah desa yang berhasil membantu mencadangkan air tanah melalui program sumur resapan yang dibantu pendanaannya oleh sejumlah LSM dan perusahaan.

Pada Lokakarya itu ditampilkan narasumber dari sejumlah desa yang berhasil melakukan pencadangan air tanah melalui sumur resapan seperti Desa Patemon, Kecamatan Tengaran, Kabupaten Semarang dan Desa Claket, Kecamatan Pacet, Kabupaten Mojokerto.

Kepala Desa Patemon Puji Rahayu juga mengungkapkan, program sumur resapan sudah masuk Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RJPMDes) 2013-2019 dan sudah dibuat Perdes agar dana desa bisa digunakan untuk membuat sumur resapan.

Pemerintah Desa mengalokasikan dana untuk pembangunan dan perawatan dua sumur resapan per tahun dan ada kewajiban perusahaan swasta yang ada di desa itu wajib membangun sumur resapan dengan volume 20 meter kubik.

Jumlah sumur resapan yang dibangun dengan dana desa dan swadaya sejak 2015 sampai 2017 mencapai 24 sumur resapan. Di tahun 2018 direncanakan 8 sumur resapan lagi dimana lima sumur diantaranya dibangun atas biaya pemilik pabrik yang ada di Patemon.

Joko Waluyo, tokoh masyarakat setempat dan Ketua BPD Kabul Budiono sepakat untuk mendukung program 1.000 sumur resapan yang digagas kepala desa artinya ada satu sumur resapan setiap keluarga.

Keberadaan sumur resapan itu mampu meningkatkan cadangan air tanah di desa itu sehingga sumur warga mempunyai debit air yang melimpah. Bahkan mata air Senjoyo yang berada di bawah desa itu juga ikut terimbas dengan naiknya debit air sampai 300 liter per detik.

Lokakarya itu disponsori Badan Pembangunan Internasional AS (USAID) yang melalui Program Pelayanan Air, Sanitasi dan Kebersihan di Daerah Perkotaan di Indonesia (IUWASH) telah mengenalkan teknologi sumur resapan.

Program IUWASH Penyehatan Lingkungan untuk Semua (IUWASH PLUS) merupakan sebuah inisiatif dengan pendanaan sebesar 39,6 juta dolar AS atau sekitar Rp535 miliar untuk meningkatkan akses air minum dan layanan sanitasi di Indonesia.

Sasaran utama program itu adalah pertama, peningkatan kualitas layanan air minum bagi satu juta penduduk perkotaan dimana setengahnya merupakan kategori berpenghasilan rendah. Kedua, peningkatan akses untuk layanan sanitasi aman bagi 500 ribu penduduk perkotaan.

Program itu akan melibatkan 32 kabupaten/kota yang tersebar di Provinsi Sumut, Sulsel, Maluku, Maluku Utara, Papua, serta seluruh Jawa kecuali Yogyakarta.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement