Kamis 22 Mar 2018 04:13 WIB

PGI: Warga Sentani Punya Kearifan Lokal Selesaikan Polemik

PGI mengatakan PGGJ sebatas memprotes, tidak terjadi hal lain di Sentani.

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Reiny Dwinanda
Musyawarah Tokoh Sepakat Bentuk Tim Penyelesaian Masalah Masjid Al Aqsha Sentani (Foto: Kemenag.go.id)
Foto: Foto: Kemenag.go.id
Musyawarah Tokoh Sepakat Bentuk Tim Penyelesaian Masalah Masjid Al Aqsha Sentani (Foto: Kemenag.go.id)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) pendeta Albertus Patty meyakini masyarakat di Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua, bisa menyelesaikan persoalan keumatan di wilayahnya. Menurutnya, masyarakat setempat punya cara tersendiri sesuai kearilan lokal dalam menyelesaikan polemik mengenai aktivitas umat Islam di Jayapura.

"Mereka di sana enggak ada masalah kok. Teman-teman di Papua ini punya local wisdom sehingga mereka bisa menyelesaikan persoalan itu sendiri. Ini gara-gara WA (Whatsapp) aja kita jadi besar-besarin di sini. Sebetulnya di sana enggak ada apa-apa. Mereka kemudian berdialog. Enggak ada masalah," kata dia saat dihubungi Republika.co.id, Rabu (21/3).

Albertus lantas menceritakan batalnya rencana mantan Ketua Umum Muhammadiyah, Din Syamsuddin, mengunjungi lokasi masjid Al-Aqsa Sentani. "Din Syamsuddin aja batal ke sana. Rencananya dia mau tangani, tapi batal ke sana karena memang sudah adem sendiri," ungkapnya.

Menurut Albertus, surat protes yang dilayangkan Persekutuan Gereja-Gereja di Kabupaten Jayapura (PGGJ) itu hal wajar. Surat tersebut cukup ditanggapi melalui dialog atau beberapa cara lainnya yang baik.

"Ini masih sebatas protes, ini loh sebaiknya diturunkan. Begitu-begitu saja. Enggak ada yang masjidnya dirusak atau menaranya dihancurin. Enggak terjadi apa-apa di sana. Mereka punya local wisdom yang oke kok," katanya.

Persekutuan Gereja-Gereja di Kabupaten Jayapura (PGGJ) telah mengeluarkan pernyataan sikapnya pada 16 Februari lalu. PGGJ menuntut agar pembangunan menara Masjid al-Aqsha, Sentani, dihentikan dan dibongkar agar tak lebih tinggi dari bangunan gereja yang ada di sekitarnya. Di samping itu, tuntutan PGGJ melebar hingga melarang adzan dengan pengeras suara, membatasi penggunaan seragam yang mencirikan identitas keagamaan, dan melarang dakwah Islam.

PGGJ juga tidak menginginkan adanya fasilitas beribadah umat Islam tersedia di ruang publik, seperti perkantoran, pusat perbelanjaan, dan perumahan. Untuk menyelesaikan konflik akibat sikap PGGJ, para pemangku kepentingan telah membentuk tim kerja

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement