REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Politik Muhammad Qodari melihat Jokowi akan mengalami kesulitan apabila memilih di antara mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Din Syamsudin dengan Ketua Umum PB NU Said Aqil sebagai pasangan di Pilpres 2019. Sebab, Jokowi harus menghadapi resiko akan timbulnya kecemburuan dari salah satu pihak.
Sebagai kalangan agamis yang terbilang konsisten, Din dan Said memiliki jaringan luas dan massa pendukung banyak. Meski dua poin ini berpotensi besar untuk meningkatkan elektabilitas Jokowi, di sisi lain juga bisa menjadi bumerang.
"Kalau Din yang terpilih, belum tentu massa NU menerima, pun sebaliknya," ucap Qodari ketika dihubungi Republika.co.id, Senin (19/3).
Untuk mengantisipasi permasalahan ini, Jokowi bisa memilih sosok yang berada di tengah-tengah kedua pihak. Qodari menyebutkan nama mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD dan Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Jimly Asshiddique.
Menurut Qodari, baik Mahfud maupun Jimly masih memiliki latar belakang santri tapi tidak terlalu condong ke satu pihak antara Muhammadiyah ataupun NU. "Dalam situasi ini, Jokowi harus bertemu dan berpasangan dengan orang-orang yang resistensinya paling rendah dari semua kelompok," ujar direktur eksekutif Indo Barometer tersebut.
Terlepas dari dukungan massa tiap pihak, Qodari mengatakan, kalangan agamis masih menjadi pasangan yang pas bagi Jokowi dalam Pilpres 2019. Sebab, selain memiliki massa solid dan tersebar, mereka mampu mengatasi isu-isu agama yang diperkirakan masih mewarnai pesta demokrasi tahun depan.
Sebelumnya, pada Februari, Ketua Umum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri mengumumkan pencalonan Jokowi sebagai capres dari PDIP. Saat ini, setidaknya sudah ada delapan partai yang mendukung Jokowi maju,yakni PDIP, Nasdem, Partai Solidaritas Indonesia, Partai Golkar, PPP, Hanura, Perindo dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI).