Jumat 16 Mar 2018 20:37 WIB

KPK Tetapkan Cagub Maluku Utara Sebagai Tersangka

KPK menetapkan Cagub Maluku Utara sebagai tersangka koripsi pembebasan lahan.

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Bayu Hermawan
Wakil Pimpinan KPK Saut Situmorang memberikan keterangan kepada media terkait penetapan tersangka baru pada terduga kasus suap di gedung KPK, Jakarta, Rabu (31/1).
Foto: ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja
Wakil Pimpinan KPK Saut Situmorang memberikan keterangan kepada media terkait penetapan tersangka baru pada terduga kasus suap di gedung KPK, Jakarta, Rabu (31/1).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan calon Gubernur Maluku Utara Ahmad Hidayat Mus (AHM) dan Ketua DPRD Kepulauan Sula Zainal Mus (ZM) sebagai tersangka. Keduanya diduga melakukan tindak pidana korupsi terkait pengadaan pembebasan lahan Bandara Bobong pada APBD tahun anggaran 2009 di Kabupaten Kepulauan Sula.

"KPK meningkatkan status penanganan perkara ke penyidikan, dengan menetapkan dua orang sebagai tersangka yaitu AHM, Bupati Kepulauan Sula periode 2005-2010, dan kedua ZM, ketua DPRD Kabupaten Sula periode 2009-2014," ujar Wakil Ketua KPK Saut Situmorang, di Gedung Merah Putih KPK, Jumat (16/3).

Saut mengatakan, pihaknya menduga AHM dan ZM telah menguntungkan diri sendiri atau orang lain, atau korporasi terkait dengan pembebasan lahan Bandara Bobong Kabupaten Kepulauan Sula yang menggunakan APBD tahun anggaran 2009. Keduanya diduga melakukan pengadaan fiktif dari pengadaan pembebasan lahan Bobong pada APBD Tahun Anggaran 2009 di Kabupaten Kepulauan Sula.

Pengadaan fiktif itu dilakukan dengan cara seolah pemerintah Kabupaten Kepulauan Sula membeli tanah milik ZM yang seakan-akan dibeli dari masyarakat. Saut menerangkan, kerugian negara berdasarkan perhitungan dan koordinasi dengan BPK sebesar Rp 3,4 miliar. Angka itu sesuai dengan jumlah pencairan SP2D kas daerah Kabupaten Kepulauan Sula.

"Dari total Rp 3,4 miliar yang dicairkan dari kas daerah Kabupaten Kepulauan Sula senilai Rp 1,5 miliar, diduga ditransfer kepada ZM sebagai pemegang surat kuasa menerima pembayaran pelepasan tanah," jelas Saut.

Selanjutnya, senilai Rp 850 juta diterima oleh AHM melalui pihak lain untuk menyamarkan penerimaan uang tersebut. Sedangkan sisa uangnya diduga mengalir kepada pihak-pihak lainnya. Menurut Saut, kasus ini sudah pernah ditangani oleh Kepolisian Polda Maluku Utara. Beberapa tersangka lainnya telah dipidana, tapi pada 2017 AHM mengajukan praperadilan dan Pengadilan Negeri Ternate mengabulkan permintaannya.

Dengan begitu, Polda Maluku mengeluarkan SP3 untuk menghentikan penyidikan perkara tersebut. Hal itu sesuai dengan keputusan praperadilan yang menyatakan penyidikan oleh Polda tidak sah. "Sejak saat itu, KPK berkoordinasi kepada Polda dan Kejati Maluku Utara untuk kemudian membuka penyelidikan baru atas kasus ini pada Oktober 2017," jelasnya.

AHM dan ZM diduga melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement