Kamis 15 Mar 2018 23:37 WIB

Pengambilan Air Tanah Secara Ilegal, Ini Komentar PAM Jaya

Pemprov DKI tengah menyusun regulasi penghentian pengambilan air tanah secara ilegal.

Rep: Silvy Dian Setiawan/ Red: Andri Saubani
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan (tengah) didampingi Tim Pengawasan Terpadu Sumur Resapan Instalasi Pengelolaan Air Limbah dan Air Tanah saat melakukan sidak di Hotel Sari Pan Pacific, Thamrin, Jakarta, Senin (12/3).
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan (tengah) didampingi Tim Pengawasan Terpadu Sumur Resapan Instalasi Pengelolaan Air Limbah dan Air Tanah saat melakukan sidak di Hotel Sari Pan Pacific, Thamrin, Jakarta, Senin (12/3).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah Provinsi DKI Jakarta akan membuat regulasi yang mengatur penghentian pengambilan air tanah secara ilegal di Jakarta. Menurut Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Salahuddin Uno, hingga saat ini baru 60 persen warga DKI terlayani kebutuhan air bersih, dan sebanyak 40 persennya belum mendapatkan fasilitas ini dan sebagian di antaranya mengambil air tanah secara ilegal.

Menanggapi hal tersebut, Direktur Utama Direktur Utama PD Perusahaan Air Minum (PAM) Jaya, Erlan Hidayat mengatakan, pelanggaran pengambilan air tanah secara ilegal yang umumnya yang terjadi di Jakarta adalah pengambilan air dari sumur dalam atau deep well. Sebab, untuk sumur dangkal atau shallow well belum ada peraturannya.

"Kalau pertanyaannya adalah pelanggaran, maka tentu yang di maksud adalah pelanggaran atas peraturan, dan karena yang diatur adalah deep well atau sumur dalam. Artinya pelanggaran pada pengambilan air dari sumur dalam," kata Erlan saat dihubungi Republika, Jakarta, Kamis (15/3).

Erlan menuturkan, untuk pengambilan air dari sumur dangkal belum ada aturannya. Sebab, air pada aquiver dangkal lebih cepat terbarui dibandingkan air pada sumur dalam.

Sehingga, yang di kenakan pajak adalah deep well atau sumur dalam. Di mana, sumur dangkal tidak berbayar seperti yang digunakan oleh banyak rumah di Jakarta.

"Kalau sumur dangkal kan nggak bayar, seperti di banyak rumah di Jakarta kan pada pakai air tanah sumur dangkal. Peraturannya pun belum ada untuk sumur dangkal," tambahnya.

Untuk daerah yang masih banyak menggunakan air tanah, lanjut Erlan, tergantung kepada tingkat komersial suatu daerah. Jika tingkat komersial suatu daerah tinggi, maka akan ada kecenderungan bagi daerah tersebut untuk menggunakan lebih banyak air tanah. Sehingga, di daerah tersebutlah yang akan banyak melakukan pelanggaran.

"Soal daerah mana, tentu semakin komersial sebuah daerah, akan ada kecenderungan semakin banyak pakai air tanah," tambahnya.

Sementara itu, untuk potensi kerugian yang akan dialami terkait pengambilan air tanah tersebut secara ilegal, lanjutnya, terbilang besar. Walaupun Erlan tidak bisa memastikan berapa besar kerugian yang terjadi.

"Tapi kalau kerugian materiil dan non materiil pasti sangat besar lah. Apalagi kalau analisanya Jakarta semakin rendah permukaan tanahnya alkibat pengambilan air tanah yang berlebihan. Banyangkan saja berapa tuh, ngitungnya saja susah banget kali," tambahnya.

Seperti diketahui, Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Salahuddin Uno mengatakan hingga saat ini belum ada regulasi yang mengatur penghentian pengambilan air tanah secara ilegal di Jakarta. Ia mengatakan akan membuat aturan baru dalam bentuk peraturan daerah (perda).

"Iya (akan dibuat). (Bentuknya) harus yang paling kuat, perda. Nanti kita lihat," kata Sandiaga di Balai Kota, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, Kamis (15/3).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement