Rabu 14 Mar 2018 21:35 WIB

Pakar Keamanan Pangan Tepis Isu Bahaya Mikroplastik

Pemerintah harus perhatikan kebersihan di laut dari sampah plastik

Sampah plastik, ilustrasi
Sampah plastik, ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar keamanan pangan Institut Pertanian Bogor, Prof DR Ahmad Sulaeman menepis anggapan keberadaan mikroplastik -plastik berukuran 1-5000 mikron- yang terdapat di lingkungan air maupun darat yang terpapar dalam sumber pangan manusia bisa menimbulkan dampak kesehatan langsung yang serius jika dikonsumsi manusia. Menurutnya hal tersebut terlalu dini untuk mengatakan paparan mikroplastik dalam bahan makanan itu sangat berbahaya.

"Kita perlu riset lebih mendalam lagi. Hingga saat ini belum ada data dan kerangka aturan yang mengatur kandungan mikroplastik dalam makanan dan minuman yang dikonsumsi manusia,” ujar Prof Ahmad dalam rilisnya, Rabu (14/3).

Masalah cemaran dan limbah plastik termasuk mikroplastik yang terjadi dimana mana dan telah menjadi fokus perhatian dunia. Baru-baru ini jagad sosial media dihebohkan dengan munculnya video seorang penyelam asal inggris, Rich Horner, saat melakukan penyelaman di kawasan Nusa Penida, Bali.

Video itu menampakkan kondisi laut Indonesia yang telah tercemar dengan berbagai kemasan sampah plastik. Guru Besar FEMA IPB ini menambahkan sebanyak 72 persen makanan olahan laut di Eropa mengandung mikroplastik, bahkan di Amerika telah mencapai 94 persen.

Untuk itu, perlu metodologi dan persepsi yang sama untuk melakukan pengujian baik di Indonesia maupun di dunia internasional. Hingga kini belum ada metode yang baku ataupun diakui, serta data yang dapat dipercaya tentang mikroplastik dalam produk pangan yang masih sangat terbatas dengan kesimpulan tidak konsisten.

Terkait dampak mikroplastik bagi kesehatan, lanjutnya, saat ini juga tidak bijak untuk tidak mengkonsumsi makanan atau minuman bergizi karena takut akan paparan mikroplastik. Menurutnya masyarakat tidak perlu ragu untuk mengkonsumi makanan dan minuman yang telah mendapat sertifikat keamanan pangan dari BPOM.

"Untuk makanan minuman yang bukan pabrikan, harap perhatikan sumber, proses pengolahan dan proses penyajiannya agar hiegenis dan gizinya terjaga," ujarnya.

Sebagai tips bagi para penggemar makanan laut sebaiknya tidak mengkonsumsi atau menghindari jeroan ikan dan membuang semua isi perut termasuk usus. Untuk kondisi saat ini, selama belum ada aturan atau penelitian yang lebih jauh, maka mengkonsumsi makanan dan minuman bisa tetap dikonsumsi.

"Apalagi jika taruhannya kita bisa kekurangan gizi atau dehidrasi karena ketakutan berlebih terhadap masalah ini,” ungkapnya.

Prof Ahmad menambahkan, sebaiknya para pemangku kepentingan di berbagai negara lebih memperhatikan lingkungan untuk meminimalkan paparan mikroplastik.  Salah satunya dengan membersihkan sampah di laut agar biota dan mahluk hidup lainnya dapat bebas dari limbah plastik.

Baru-baru ini, melalui sebuah penelitian yang dilakukan oleh organisasi media non-profit ORB Media bersama dengan State University of New York di September tahun 2017 terungkap bahwa mikroplastik ditemukan di jaringan air ledeng dan sumur di negara-negara di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Kondisi tersebut ditemukan melalui analisa 159 sampel air ledeng dan air tanah  yang berasal dari delapan wilayah di lima benua.

Di antaranya, yaitu Jabodetabek, Indonesia (21 sampel); New Delhi, India (17 sampel); dan Kampala, Uganda (26 sampel). Juga di Beirut, Lebanon (16 sampel); Amerika Serikat (36 sampel); Kuba (1 sampel); Quito, Ekuador (24 sampel); dan Eropa (18 sampel). Dari 159 sampel air keran yang diambil dari lima negara tersebut, 83 persen di antaranya mengandung partikel serat plastik mikroskopis (mikroplastik).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement