REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) Letnan Jenderal (Purn) TNI Agus Widjojo merasa tindakan preventif terhadap hoaks perlu dilakukan. Jika masyarakat terbius oleh kabar bohong, akan sulit untuk memulihkannya kembali.
"Itu (hoaks) akan memecah belah masyarakat. Karena masyarakat itu sudah terbius, maka dia juga akan memakan waktu lama untuk memulihkan kesadarannya bahwa dia sudah terbius sebetulnya," jelas Agus di Gedung Lemhanas RI, Jakarta Pusat, Rabu (14/3).
Karena itu, katanya, perlu dilakukan tindakan-tindakan preventif terhadap hoaks. Sehingga, langkah yang dilakukan bukan hanya memperbaiki, tapi juga mencegah agar publik tidak termakan oleh berita-berita bohong.
"Untuk menjaga supaya masyarakat itu tetaplah sebagai masyarakat yang patuh kepada peraturan dan melaksanakanntugas dan kewajiban sebagaimana mestinya," ungkapnya.
Salah satu contoh tindakan preventif yang ia maksud adalah yang telah dilakukan oleh Polri. Polri, kata dia, telah melakukan tindakan-tindakan untuk menegakkan hukum terhadap pelanggar yang melancarkan berita-berita bohong. Untuk itu, Agus memberi apresiasi kepada Polri.
"Kedua, kembali pada masyarakat, publik, dan perseorangan itu sendiri untuk bisa mempunyai kesadaran dalam membedakan mana itu berita benar atau berita bohong," kata Agus melanjutkan.
Menurutnya, setiap individu masyarakat harus paham dan selalu mengecek suatu berita dengan berita lainnya. Suatu berita, jelasnya, haruslah dibandingan dengan berita lainnya yang serupa. Jika hasilnya tak saling mendukung, maka patut dipertanyakan.
"Lalu, siapa sumber yang melansir berita itu. Pasti sumber yang melansir berita itu sudah memiliki reputasi," jelas dia.
Agus mengatakan, kelemahan di media sosial adalah terkadang berita bohong yang sampai ke publik merupakan hasil dari beberapa kali perpindahan tangan. Sehingga, sumber berita bohong tersebut sudah tidak diketahui lagi oleh sang konsumen.
Jika masyarakat sudah terjangkit hoaks, lanjutnya, akan memakan waktu dan hal-hal berharga lainnya yang lebih besar. Luka-luka psikologis serta perpecahan di dalam masyarakat akan lebih sulit untuk dipulihkan dan memerlukan waktu yang relatif lama.
"Dan terkadang dengan sifat kita yang emosional, itu akan terbawa lama. Bahkan, terkadang juga sulit untuk dihapuskan," ujar Agus.