Senin 12 Mar 2018 05:07 WIB

Suharto, Kemerdekaan Total Indonesia: Utang KMB Denhaag

Pemimpin militer ingin merdeka dengan cara perang total, pemimpin sipil berunding.

Pangilama Suriman ditandu ketika melakukan perang gerilya.
Foto: 50 tahun indonesia merdeka
Pangilama Suriman ditandu ketika melakukan perang gerilya.

Apakah negaramu pernah menang perang? Pertanyaan ini terus mengenang dari seorang teman. Dia mengatakan, Indonesia beda dengan Vietnam yang pernah menang perang dan bukan sekadar menang pertempuran.

"Ingat, ya. Belanda baru mengakui kedaulatan Indonesia sebagai hasil perundingan KMB (Konfrensi Meja Bundar) di Den Haag yang juga berbau campur tangan Amerika Serikat dengan ancaman kepada Belanda mencabut bantuan restorasi akibat perang dunia Marshal Plan bila negara itu nekat terus beperang di tanah bekas koloni yang telah bernama Indonesia itu,'' katanya lagi.

“Juga tahukah kamu bila hasil KMB yang mengharuskan Indonesia membayar utang Hindia Belanda, pada tahun 1950 kemudian memicu kontroversi. Publik kala itu ramai berdebat tentang masalah itu. Sampai-sampai pemerintah campur tangan menghentikan debat tersebut, terutama yang ada di media massa kala itu. Pihak kiri, yakni kaum komunis, mengecam habis Moh Hatta yang kala itu memimpin delegasi Indonesia dalam acara penanda tangan hasil KMB,’’ katanya lagi.

 

photo
Perjanjian KMB Denhaag. Delegasi Indonesia dipimpin Wakil Presiden Moh Hatta.

Atas pertanyaan bertubi itu tentu saja saya dan banyak orang sekarang yang kaget seperti kesamber geledek. Persis sama pertanyaannya dengan saat itu: mengapa kalau menang perang harus bayar utang. Seharusnya yang kalah adalah pihak yang memberikan ganti rugi, yakni pampasan perang layaknya Jerman dan Jepang.

Memang, dalam buku ajar sekolah pada masa lalu soal ini tak ada di dalamnya. Pun tak ada, misalnya, kisah surat Ho Chi Minh yang mengkritik Sukarno yang lebih memilih mengerjakan kembali birokrat didikan Belanda setelah Indonesia merdeka. Tanya "Paman Ho": Kalau mempekerjakan kembali birokrat didikan Belanda maka negara tuan tidak merdeka sepenuhnya! Sebagai jawabannya, Sukarno (dan juga Syahrir) menyatakan, kalau tak mempekerjakan lagi birokrat itu maka Indonesia kehilangan "mesin negara" alias roda pemerintahan tak bisa bergerak.

Namun, sebenarnya, soal "merdeka 100 persen" sudah lama menjadi soal yang berkecamuk di elite Indonesia pada awal kemerdekaan. Bahkan, bisa dirunut lebih jauh lagi, yakni pada masa pembentukan BPUPKI. Hanya kelompok Islam dan nasionalis yang mau menjadi BPUPKI. Kelompok sosialis dan komunis memilih tidak ikut di dalamnya karena menganggap BPUPKI sebagai "parlemen" bentukan Jepang.

Sikap yang lebih jelas ditunjukkan Tan Malaka. Dia menolak keras ide berunding dengan pihak kolonial. Dia ingin perang total dan menang total melawan kolonial. Alias sama sikapnya dengan Vietnam yang nekat habis-habisan melawan Amerika Serikat. Alhasil, melalui pertempuran legendaris Paman Ho bersama  Jenderal Vo Vo Nguyen Giap di Bie Dien Phu berhasil mengusir pergi tentara Amerika Serikat untuk pulang kampung. Sama dengan adanya ganti rugi yang tidak banyak diketahui orang Indonesia dalam perjanjian KMB, orang Amerika Serikat pun sampai kini tak percaya bila negaranya kalah perang di Vietnam. Mereka malah membuat film jagoan Rambo untuk mengalihkan bahwa mereka adalah pemenag (meski ada juga film yang mengakui kekalahan perang AS di Vietnam, yakni film semacam Platoon).

Ada sebuah kutipan dari Tan Malaka bahwa bangsa ini harus menang perang secara total dengan cara menolak taktik berunding. Kata-katanya begini:  Tuan rumah tak akan berunding dengan maling yang menjarah rumahnya! Dengan kata lain, perang total adalah pilihan terbaik.

Namun, sikap Tan Malaka ditolak oleh elite sipil Indonesia kala itu. Mereka menganggap itu suatu sikap yang ekstrem dan tidak realistis dengan alasan Indonesia kalah segalanya dari Belanda, baik itu kemampuan personil pasukan, senjata, maupun dana untuk membiayai perang. Tan Malaka dengan ketus menganggap itu akibat dari sikap orang yang terlalu lama dididk Belanda. Sayangnya, Tan Malaka kemudian mati tertembak di daerah Jawa Timur sebelah selatan: kini disebut Desa Selopanggung, Kediri.

photo
Batas daerah  RI di Kemit, Gombong, Jawa Tengah. Foto dibuat pada 19 Februari 1948. (gahentna.nl).

Lalu, bagaimana sikap angkatan perang Indonesia sendiri? Ternyata mereka lebih condong memilih jalan perang total. Bahkan, para petinggi militer kala itu sudah mempunyai rencana untuk membawa Sukarno ke pedalaman guna memimpin perang gerilya. Panglima Sudirman, misalnya, juga sepakat memilih jalan perang total atau perang semesta. Dia pun enggan dan tak suka dengan kelakuan pemimpin sipil yang sebentar–sebentar mengajak kolonial berunding, sedangkan wilayan Republik Indonesia (RI) terus menyempit, hanya mencakup sebagian wilayah Jawa bagian tengah, terutama bagian pedalaman Jawa selatan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement