Senin 12 Mar 2018 05:07 WIB

Suharto, Kemerdekaan Total Indonesia: Utang KMB Denhaag

Pemimpin militer ingin merdeka dengan cara perang total, pemimpin sipil berunding.

Pangilama Suriman ditandu ketika melakukan perang gerilya.
Foto:
Wakil Presiden Moh Hatta di stasiun Yogyakarta menyambut pejuang Siliwangi yang melakukan hijrah.

Memang, secara sekilas seolah tidak ada persoalan antara hubungan para pemimpin sipil dan tentara pada saat itu. Apalagi bila melihat foto Bung Hatta menyalami seorang prajurit Siliwangi ketika tiba di Stasiun Yogyakarta pada Februari 1948. Suasananya memang terasa magis, selain menggetarkan. Di samping Bung Hatta adalah menteri keamanan Amir Syarufudin (yang nasibnya kemudian tragis karena dihukum mati, sebab menjadi salah satu pemimpin pemberontakan PKI Madiun pada akhir tahun 1948).

Namun, ingat, para pemimpin tentara, termasuk Jendral Sudirman, kala itu juga gusar karena Perjanjian Renvile. Maka, Jawa Barat harus dikosongkan dari pasukan atau tentara Republik Indonesia. Imbasnya, pasukan Siliwangi harus hijrah ke Yogya dan membiarkan wilayah Jawa Barat kosong. Yang tersisa tinggal laskar rakyat yang dipimpin Kartosuwiryo yang saat itu masih sangat intens berhubungan dengan Jendral Sudirman.

Melalui surat-menyurat antarkeduanya, diketahui Pak Dirman tak keberatan bila pasukan Kartosuwiryo—yang kemudian bertindak sembrono mendirikan Negara Islam Indonesia—mengamankan wilayah tanah Pasundan tersebut. Lalu, pada kemudian hari terlacak surat-surat itu dikirimkan melalui Pak Dirman via salah satu orang kepercayaannya yang bernama Soeharto yang kelak menjadi Presiden RI. Pakar politik Salim Said menuliskan perihal surat itu dalam disertasinya tentang militer Indonesia.

Uniknya lagi, Pak Dirman juga kecewa atas pemimpin sipil yang bersidang ketika terjadi Operasi Burung Gagak’ (nama sandi militer Belanda ketika menyerang Yogyakarta  pada Agresi Belanda kedua). Pak Dirman kaget ketika kemudian rapat memutuskan Bung Karno dan Bung Hatta tidak akan pergi ke luar kota memimpin perang gerilya. Mereka memilih tetap berada di tengah kota meski pasti akan ditangkap tentara Belanda. Ajudan pengawal Presiden Sukarno, yakni seorang ajudan polisi bernama Sunarko, sempat kecewa berat karena presidennya memilih "menyerah" dan ditangkap Belanda. ’’Padahal saya sudah siap mati untuk perang habis-habisan,’’ katanya.

Untung saja, Panglima Sudirman bertindak cepat. Setelah tahu Sukarno tidak akan ke luar kota untuk melakukan perang gerilya, dia segera menjalankan siasat seperti yang telah digariskan ketika Yogyakarta benar-benar diserang Belanda. Nah, pada saat genting itulah kemudian terlacak jejak bagaimana eratnya hubungan Pak Dirman dengan Soeharto.

Pada sebuah perbincangan ketika hendak meninggalkan Yogyakarta untuk memimpin gerilya, antara Pak Dirman dan perwiranya (Soeharto) terlibat dalam perbincangan singkat. Pak Dirman selaku panglima angkatan perang memerintahkan Soeharto untuk menjaga keamanan Yogyakarta.  Kala itu pasukan Belanda sudah berada di batas Kota Yogyakarta .

"Kamu tetap di sini (Yogyakarta) ya, To,’’ perintah Pak Dirman.

"Siap, Pak!" jawab Soeharto.

“Kamu tahu risiko, To,’’ lanjut Pak Dirman mengisyaratkan ada risiko besar yang akan mengancam nyawa Soeharto ketika menjaga keamanan Yogya. Apalagi, saat itu, ancaman penyusupan Westerling juga konkret. Para petinggi keamanan sudah lama mengantisipasi kemungkinan munculnya penyusupan Westerling yang menargetkan para pemimpin Republik Indonesia.

"Siap, Pak. Tahu,’’ jawab Soeharto kembali. Keduanya pun berpisah.

 

 

 

                                                        

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement