Bersamaan dengan pulang Sudirman ke Jogyakarta yang terjadi sekitar bulan Juli 1949, proses perundingan di Den Haag terus berjalan. Tanda-tanda perang akan berakhir sudah terlihat meski perundingan berjalan alot. Tampak Belanda tersudut dan mulai menyerah, apalagi ada fakta lain, yakni desakan sekaligus ancaman pemutusan bantuan ‘Marshal Plan’ oleh Amerika Serikat. Orang-orang Belanda sendiri saat itu mulai merasa bahwa akhirnya tanah koloni di Hindia timur itu akan terlepas.
Dan perundingan kemudian berakhir dengan adanya pengakuan kedaulatan oleh Belanda. Namun memang pengakuan itu terasa tak sepenuhnya lengkap karena masih ada soal wilayah Papua dan keharusan RI membayar utang Hindia Belanda.
Pada forum itu, delegasi Indonesiaa pada tanggal 24 Oktober 1949 sepakat untuk mengambil alih sekitar 4,3 miliar gulden Belanda utang pemerintah Belanda di Indonesia yang disebut Belanda sebagai Hindia Timur. Beberapa hari kemudian delegasi Indonesia yang diwakili Wakil Presiden Moh Hatta dan Belanda di wakli Ratu Juliana mendantangi perjanjian itu.
‘’Ya itulah kejadian KMB. Itu untuk pertama kaliinya Sukarno (Indonesia) kalah atau menyerah dengan kekuatan keuangan global. Cara membayar utang itu pun unik karenan dibayar bukan dengan uang merah (Ori), Tapi harus memakai mata uang asing (dolar) dengan cara membentuk bank sentral baru. Celakanya yang jadi bank sentral itu bukan BNI 46 yang memang sudah lama dipersiapkan, tapi malah mengubah Java’s Bank menjadi sentral dan kini menjadi bank Indonesia,’’ kata aktivis keuangan Zaim Saidi pada sebuah perbincangan. Utang hasil KMB itu baru lunas pada masa pemerintahan Presiden Suharto yang juga dahulunya adalah salah satu orang yang dipilih para pemimpin sipil di Jogja untuk menjemput pulang Panglima Nesar Jendral Sudirman pulang dari markas gerilya itu.
Jadi akhirnya, apa pun yang terjadi di masa lalu, baik manis, pahit, hingga getir terimalah dengan lapang dada dan penuh damai. Masa lalu memang tak sempurna. Dan marilah kita maafkan!