Sabtu 10 Mar 2018 09:31 WIB

Memprediksi Tiga Skenario Pilpres 2019

Sikap parpol yang sekadar bergabung dalam koalisi gemuk menuai kritikan.

Rep: Adinda Pryanka, Amri Amrullah/ Red: Budi Raharjo
Ilustrasi Pilkada Serentak
Foto: Republika/ Wihdan
Ilustrasi Pilkada Serentak

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Partai politik (parpol) mulai mengambil ancang-ancang menghadapi pemilihan presiden (Pilpres) 2019. Sejumlah kemungkinan bisa terjadi pada ajang politik lima tahunan ini, termasuk soal siapa yang bakal diusung sebagai calon presiden dan calon wakil presiden.

Wakil Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Bidang Politik Dalam Negeri Priyo Budi Santoso memprediksi akan ada tiga skenario dalam Pilpres 2019. Ketiga skenario itu adalah head to head, muncul poros ketiga, dan hanya ada satu calon.

Untuk skenario pertama, Priyo menggambarkan, hanya ada dua kubu yang diperkirakan akan diisi oleh Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo Subianto. "Tapi, skenario ini terbilang berisiko terhadap demokrasi. Warga hanya terpatok pada dua pilihan saja," ujar Priyo saat ditemui Republika usai diskusi ‘Peta Politik Indonesia: Kiprah ICMI dalam Tahun Politik 2018’ di Menteng, Jakarta Pusat, beberapa waktu lalu.

Skenario kedua adalah munculnya poros ketiga yang dimotori partai Demokrat, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Amanat Nasional (PAN). Priyo melihat skenario ini sebagai kondisi yang bagus terhadap demokrasi Indoneisa. Sebab, memberikan semakin banyak pilihan kepada pemilih.

Skenario terakhir, hanya ada satu calon atau calon tunggal dalam Pilpres 2019. Hal ini mungkin saja terjadi karena adanya keputusan Mahkamah Konstitusi terkait Pasal 222 Undang-Undang no 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum. "Di dalam peraturan, mensyaratkan parpol gabungan harus memiliki suara minima 20 persen untuk mengajukan calon presiden dan wakilnya," ucap Priyo.

Skenario ini juga mungkin terjadi apabila Jokowi dan Prabowo duduk dalam satu meja dan menjadi pasangan. Meski terdengar sulit dipercaya, Priyo menjelaskan, dunia politik memiliki banyak kemungkinan.

Dari tiga skenario tersebut, Direktur Eksekutif Indo Barometer Muhammad Qodari mengatakan skenario ketiga memiliki kemungkinan terkecil. Sebab, Pilpres 2019 merupakan momentum yang terlalu ‘seksi’ untuk dilewatkan partai politik (parpol). "Jadi, tidak mungkin mereka tidak mengajukan calon," tuturnya.

Salah satu faktor yang menyebabkan ‘seksinya’ Pilpres 2019 adalah waktu yang hampir bertepatan dengan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2018. Para calon presiden maupun wakil presiden yang sudah ataupun hendak diusung parpol bisa merebut hati masyarakat sejak setahun sebelum hari H.

Menurut Qodari, karena begitu seksinya Pilpres 2019, parpol bahkan tidak segan untuk mengalami risiko buruk. "Ibaratnya, kalaupun kalah, mereka lebih baik mengajukan calon dibanding dengan tidak sama sekali terlibat dalam Pilpres 2019," katanya.

Poros ketiga

Peneliti senior Pusat Penelitian Politik LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), Siti Zuhro mengatakan poros ketiga dalam koalisi alternatif sangat mungkin terjadi di Pilpres 2019. Poros ketiga ini bisa dibangun seperti saat pilkada di DKI Jakarta, dengan munculnya AHY-Sylviana yang didukung Demokrat, PKB, PAN dan PPP.

"Di tingkat nasonal hal ini bisa diciptakan juga ketika kepentingan mereka bisa disatukan dalam koalisi. Pasangan Zulkifli Hasan-AHY atau AHY-Cak Imin," kata Siti Zuhro kepada wartawan, Jumat (9/3).

Pilihan opsi yang sangat mungkin menurutnya, pertama, koalisi PDIP dengan lima parpol pendukung. Kedua, koalisi Gerindra dengan parpol lain dan koalisi ketiga Demokrat dengan parpol lain.

Menurut pengamat politik yang akrab disapa Mbak Wik ini, kekuatan koalisi alternatif adalah pilihan calon yang diusung. Jika mantap dan mampu menjadi lawan tanding yang minimal setara dengan lainnya, tak tertutup kemungkinan akan sangat menjanjikan, mampu memenangkan pemilu 2019.

Semua itu, menurutnya sangat mungkin dalam politik di Indonesia. "Politik di Indonesia sudah terbukti sangat dinamis dan penuh pilihan-pilihan," terangnya. Tak tertutup kemungkinan bila kepentingan mereka bertemu, maka koalisi alternatif yang terbentuk akan jadi pilihan rakyat.

Siti Zuhro mengkritisi sikap parpol yang sekadar memilih bergabung dalam koalisi gemuk, sehingga mengarah ke calon tunggal. Walaupun mungkin calon tunggal ini tidak terjadi, upaya untuk mengarahkan capres tunggal, menurutnya Indonesia akan kembali ke sistem otoritarian.

Demokrasi yang mengarah ke calon tunggal, ungkap dia, menunjukkan demokrasi Indonesia dikebiri. Karena esensi demokrasi adalah partisipasi, representasi dan kontestasi/kompetisi. "Bila tiga hal itu tidak ada, demokrasi mengalami set back (kemunduran) yang serius," tegasnya.

Idealnya, kata dia, demokrasi yang memberi peluang pemilu dilaksanakan secara substantif dengan mendorong partai-partai membangun diri dan berkoalisi secara terukur. Banyaknya parpol harus mampu merepresentasikan aspirasi atau kehendak rakyat.

Karena itu, keragaman atau kemajemukan rakyat bisa tercermin dari munculnya calon-calon pemimpin baru dalam pemilu. Sedangkan, demokrasi dengan calon tunggal menyalahi semangat dan roh demokrasi yang memberikan peluang kepada warga negara memenuhi kriteria untuk maju dlm Pemilu 2019.

photo
Peneliti Senior LIPI R Siti Zuhro.

Ambang batas pengajuan capres

Ambang batas mengajukan pasangan capres-cawapres atau presidential threshold termuat dalam Pasal 222 UU Pemilu. Untuk bisa mendukung capres, partai politik minimal harus memiliki 20 persen kursi di DPR RI periode 2014-2019. Syarat lainnya, yaitu pasangan capres dan cawapres tersebut memiliki perolehan suara dalam Pemilu 2014 sebesar 25 persen.

Saat ini, lima partai sudah mendeklarasikan akan mengusung Joko Widodo untuk periode kedua pada pilpres 2019. Kendati belum mengumumkan akan berkoalisi, lima partai tersebut, yakni PDIP (dengan 19,46 persen kursi di DPR), Partai Golkar (16,25 persen), PPP (6,9 persen), Partai Nasdem (6,25 persen), dan Partai Hanura (2,85 persen).

Gabungan lima partai tersebut memiliki 51,66 persen kursi di DPR. Rival yang mungkin menantang koalisi Jokowi, yakni Partai Gerindra (13 persen) dan PKS (7,1 persen), yang memiliki gabungan kursi sebesar 20,1 persen.

Tiga partai lainnya, yakni Partai Demokrat, PAN, dan PKB, yang belum memutuskan arah koalisi memiliki gabungan kursi Demokrat-PAN-PKB: 27,94 persen. Perinciannya, Partai Demokrat 10,89 persen, PAN 8,75 persen, dan PKB 8,3 persen.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement