Kamis 08 Mar 2018 20:15 WIB

Pengamat: Capres Pejawat Berpeluang Borong Dukungan Parpol

Capres tunggal berpotensi terjadi di Pilpres 2019.

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Andri Saubani
Kotak suara Pilpres 2014 (ilustrasi)
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Kotak suara Pilpres 2014 (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Media Survei Nasional (Median) Rico Marbun mengkhawatirkan pengusungan calon presiden (capres) pejawat berpotensi menyebabkan kondisi di mana hanya ada satu pasangan capres-cawapres atau tunggal pada Pilpres 2019. Sebab, pejawat berpeluang memborong semua dukungan parpol.

"Secara metematis peluang munculnya calon tunggal dimungkinkan. Artinya ada satu calon kuat yang tentunya pejawat bisa melakukan itu (capres tunggal). Kita sudah lihat pada Pilkada 2018 ini, ada calon kuat secara posisi dan sumber daya lalu memborong tiket politik yang besar," kata dia kepada Republika.co.id, Kamis (8/3).

Menurut Rico, capres tunggal bisa terjadi bila ada pihak yang merasa terancam dengan kehadiran sosok baru yang potensial menjadi lawan kuat. Tak hanya itu, pihak tersebut kemungkinan juga khawatir mengalami kekalahan pada Pilpres 2019 jika melalui kompetisi yang sehat.

Karena itu, Rico mengatakan, tidak menutup kemungkinan, ada upaya membajak banyak parpol dengan memanfaatkan sumber daya yang ada dan memberikan berbagai tekanan politik, agar tidak ada yang bisa mengusung capres lagi selain pihak tersebut. "Saya pikir hanya itu skenarionya," tuturnya.

Dalam kondisi demikian, papar Rico, sosok yang sebetulnya berpotensi menjadi lawan kuat bagi pejawat malah tenggelam. Padahal, ia meyakini aspirasi masyarakat yang menginginkan adanya pemimpin baru itu terus tumbuh dan nyata. Tapi ini bisa terhambat bila aspirasi rakyat ini diredam oleh elite politik.

Di mata Rico, ada konsekuensi yang fatal jika capres tunggal betul terjadi pada Pilpres 2019. Misalnya, pemimpin yang terpilih nanti akan kehilangan legitimasi, atau legitimasinya rendah. Sebab, besarnya aspirasi masyarakat yang ingin memiliki pemimpin baru tidak direspons positif oleh elite parpol.

Dampak lain yaitu pembelahan yang berujung konflik horizontal. "Ketika saluran resmi untuk memperjuangkan aspirasi melalui proses politik ini tersumbat, maka bisa menimbulkan keresahan, bisa demonstrasi besar-besaran, kerusuhan, tentu itu semua tidak kita inginkan terjadi," ucap dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement