REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Yati Andriyani merasa masyarakat harus mengenali rekam jejak partai politik atau politikus yang akan mereka pilih. Termasuk rekam jejak mereka terkait pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
"Diterima atau tidak (di masyarakat) kita lihat saja. Tapi yang penting bagi masyarakat adalah untuk mengenali dengan baik setiap jejak rekam para politisi dan partai politik yang akan mereka pilih atau percaya," ungkap Yati kepada Republika, Kamis (8/3).
Yati mencontohkan, masyarakat haruslah memahami apakah politisi atau partai politik itu bersih dari rekam jejak pelanggaran HAM dan hukum. Jika masyarakat tidak peduli akan hal itu, maka masyarakat akan menjadi pihak yang kontributif pada impunitas atau kejahatan tanpa hukuman atas kasus-kasus pelanggaran HAM dan kejahatan lainnya.
"Belum sepenuhnya (masyarakat peduli akan rekam jejak suatu partai politik atau politisi terkait pelanggaran HAM)," kata dia.
Untuk meningkatkan kepedulian itu, Yati menyebutkan, masyarakat dapat mencari tahu atau memberi perhatian banyak terhadap korban dan keluarga korban pelanggaran HAM yang masih menanti keadilan. Komisi-komisi negara pun mesti bekerja untuk mendorong penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM.
Selain itu, para penegak hukum juga perlu bekerja dengan baik agar kasus-kasus pelanggaran HAM bisa diungkap. Menurut Yati lagi, dunia pendidikan dan media massa harus pula memberikan alternatif pembelajaran serta informasi terkait kasus-kasus pelanggaran HAM dan kejahatan yang tidak terungkap.
Yati menjelaskan, salah satu keluarga korban pelanggaran HAM yang masih mencari keadilan adalah istri dari almarhum Munir Said Thalib. Munir dibunuh menggunakan racun saat hendak bertolak dari Jakarta menuju Belanda.
Pollycarpus Budihari Priyatno dan Muchdi Purwoprandjono pernah menjadi terduga dan terpidana kasus pembunuhan Munir itu. Keduanya sempat dipenjara dan kini telah menghirup udara bebas. Teranyar, mereka berdua dikabarkan bergabung dengan Partai Berkarya, salah satu partai baru yang mengikuti pemilu.
Bergabung dan difasilitasinya Pollycarpus dan Muchdi PR dalam Partai Berkarya, kata Yati, tidak bisa hanya dilihat dari sisi politik proseduralnya saja. Di mana setiap warga negara berhak bergabung dengan partai politik apa pun.
Yati merasa, fenomena bergabungnya mantan terpidana dan terduga kasus pembunuhan Munir pada Partai Berkarya, juga para terduga pelanggaran HAM yang saat ini menjadi pucuk pimpinan partai politik, atau bahkan menjadi bagian dari pemerintahan Joko Widodo, adalah cermin lemahnya penegakan hukum di negeri ini.
"Dan ini adalah buah dari impunitas, ketiadaan penghukuman atau kekebalan hukum terhadap orang-orang tertentu," lanjutnya.
Ia menambahkan, ketiadaan penegakkan hukum, impunitas, kompromi-kompromi politik dan absennya sikap politik Presiden atas berbagai kasus-kasus kejahatan dan pelanggaran HAM berat dapat berdampak pada kembalinya figur-figur pelaku kejahatan. Terduga pelanggaran HAM pun bukan tidak mungkin dapat kembali ke panggung politik.
Situasi di atas, sambungnya, akan sangat mengkhawatirkan bagi agenda-agenda penegakan hukum dan HAM. Itu karena para terduga pelaku kejahatan dan pelanggar HAM dapat menggunakan atau membonceng ruang-ruang demokrasi dan mekanisme politik prosedural seperti partai politik untuk memproteksi diri mereka dari pertanggungjawaban pelanggaran HAM.
"Dan juga untuk membersihkan diri mereka atas kejahatan yang pernah dilakukan," terangnya.
Yati mengungkapkan, berkenaan dengan keberadaan Pollycarpus dan Muchdi dalam satu partai dapat dijadikan momentum bagi Presiden Jokowi. Momentum untuk mengumumkan dokumen TPF Munir. Hal tersebut bisa pula dijadikan petunjuk bagi Polri dan jaksa untuk kembali melihat dan membongkar fakta-fakta yang masih tersembunyi.
"Fakta-fakta adanya dugaan hubungan komunikasi antara Polly dan Muchdi dalam perencanaan pembunuhan terhadap Munir," kata dia.