REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti terorisme The Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA), Harits Abu Ulya meminta Pemerintah Indonesia untuk bersikap tegas terhadap berbagai intervensi negara asing. Pernyataan ini datang menyusul langkah Pemerintah Australia yang mendesak agar Ustaz Abu Bakar Ba'asyir tidak mendapatkan keringanan hukuman apapun, terkait kasus terorisme yang menjeratnya.
"Sikap Pemerintah Australia tidak patut dilakukan karena ini adalah bentuk intervensi kadaulatan hukum negara Indonesia, yang sekaligus sebuah bentuk arogansi," ujar Harits kepada Republika.co.id, Sabtu (3/3).
Harits mengatakan, mengenai proses hukum terhadap Ba'asyir, Pemerintah Indonesia adalah yang memiliki kewenangan penuh. Hal itu karena apapun mengenak kondisi terpidana yang menjalani proses hukum di negara ini diketahui sepenuhnya oleh otoritas setempat, bukan negara asing.
"Saya kira Indonesia adalah yang paling tahu kondisi dan segala sesuatunya tentang warga mereka yang menjalani proses hukum di sini, bukan Australia atau negara lainnya," jelas Harits.
Ia juga menegaskan intervensi dari Australia tidak bisa dilakukan, sekalipun Indonesia memiliki kerjasama di bidang terorisme dengan Negeri Kangguru itu. Harits mengatakan bahwa kedaulatan NKRI dalam aspek hukum dan politik tidak dapat diganggu gugat, terlebih jika itu menyangkut nasib warga Tanah Air.
"Jika sampai tekanan asing ini diaminkan Pemerintah Indonesia, maka itu artinya mengkorfirmasi dan menjadi indikasi kebenaran asumsi publik selama ini bahwa pidana terhadap Baasyir adalah pihak negara lain," kata Harits menambahkan.
Seperti diketahui, Pemerintah Australia melalui Kementerian Luar Negeri negara itu memberi pernyataan yang mendesak Indonesia agar tidak memberi keringanan apapun terhadap Ba'asyir. Pernyataan itu muncul setelah adanya wacana bahwa Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengusulkan agar ulama yang juga merupakan pemimpin Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) dan salah seorang pendiri Pondok Pesantren Islam Al Mumin itu menjadi tahanan rumah karena faktor usia dan kondisi kesehatannya yang terus menurun.
Kementerian Luar Negeri Australia mengatakan Ba'asyir harus bertanggung jawab penuh atas dugaan kejahatannya sebagai tersangka dalam serangan bom Bali pada 2002. Dalam peristiwa itu, sebanyak 202 orang, yang mayoritas adalah warga negara asing, termasuk 88 orang berasal dari Negeri Kangguru itu tewas.
Ba'asyir pada 2004 pertama kalinya divonis 2,5 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan karena terbukti terlibat dalam peristiwa bom Bali dan bom di hotel JW Marriot. Kemudian pada 2011, ia kembali menerima vonis 15 tahun penjara karena tebukti menjadi perencana dan penyandang dana pelatihan kelompok bersenjata di pegunungan Jantho, Aceh.