REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Nasir Djamil menyebut 'banci' aturan mengenai penghentian kasus korupsi pejabat daerah dengan pengembalian uang negara. Menurut Nasir, hal ini berpotensi menimbulkan banyaknya koruptor baru.
"Aturan mainnya agak 'banci'. Berpotensi untuk banyaknya orang maling. Bahkan tidak menutup kemungkinan ada oknum ikut bermain," ujar Nasir Djamil kepada Republika.co.id, Kamis (1/3).
Ia mencontohkan, apabila ditemukan indikasi kerugian keuangan negara, tentunya aparat penegak hukum akan memanggil. Dalam penyelidikan akan ditemukan bukti- bukti yang menyebut bahwa itu merupakan kasus korupsi.
Kemudian jika diminta mengembalikan dana kerugian negara tanpa dilanjutkan ke tahap penyidikan, ia menilai hal tersebut tidak menimbulkan efek jera. "Jadi orang ambil uang, kalau ketahuan ya sudah dibalikin saja? Ini kan lucu dan aneh peraturannya," katanya.
Dalam pemberantasan korupsi, Nasir menilai hal yang paling penting adalah penguatan pencegahan agar para pejabat tidak melakukan korupsi. Aturan ini dinilai tidak sesuai dengan upaya pencegahan korupsi.
"Jadi bulan Maret ini kami akan minta jelaskan oleh Kejaksaan dan Polri, bagaimana menerjemahkan aturan ini di lapangan. Jangan sampai aturan ini berpotensi menimbulkan banyak koruptor," tegas Nasir.
Sebelumnya pada Rabu (28/2), Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Jenderal Polisi Ari Dono Sukmanto mengatakan penyelidikan kasus korupsi pejabat daerah akan dihentikan apabila sang koruptor telah mengembalikan uang kerugian negara tersebut ke kas negara.
Aturan tersebut disepakati dalam Perjanjian Kerja Sama Koordinasi Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) dan Aparat Penegak Hukum (APH) terkait Indikasi Korupsi di Jakarta.
"Kalau masih penyelidikan, kemudian tersangka mengembalikan uangnya, mungkin persoalan ini tidak kami lanjutkan ke penyidikan," kata Ari.
Menurut Ari, dengan dikembalikannya uang kerugian negara dari tindak pidana korupsi, maka anggaran untuk proses penyidikan tidak akan terbuang. Apalagi, jika kerugian tersebut sekitar Rp 100 juta hingga Rp 200 juta.