Rabu 28 Feb 2018 19:26 WIB

MK: Permohonan Uji Materi UU MD3 Belum Miliki Objek Gugatan

Permohonan uji materi yang diajukan oleh FJHK.

Puluhan mahasiswa yang tergabung dalam Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) menggelar aksi menolak revisi UU MD3, di depan Gedung DPRD Jawa Barat, Kota Bandung, Rabu (28/2).
Foto: Republika/Edi Yusuf
Puluhan mahasiswa yang tergabung dalam Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) menggelar aksi menolak revisi UU MD3, di depan Gedung DPRD Jawa Barat, Kota Bandung, Rabu (28/2).

REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Mahkamah Konstitusi (MK) melalui juru bicaranya Fajar Laksono Soeroso mengatakan permohonan uji Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) masih belum memiliki objek hukum. Fajar menjelaskan menurut hukum acara, 14 hari setelah diregistrasi suatu perkara sudah harus memasuki sidang pendahuluan.

"Secara formil Undang Undang MD3 belum memiliki wadah hukum atau objek hukum karena belum memiliki nomor," kata Fajar di Bogor, Rabu (28/2).

Fajar menerangkan, jika UU MD3 belum dinomori, maka dalam sidang pendahuluan nanti ini akan menjadi catatan bagi panel hakim bahwa belum ada objek Selang 14 hari setelah sidang pendahuluan, MK akan menggelar sidang perbaikan. Dalam sidang ini pemohon uji materi diharapkan sudah memiliki objek hukum.

"Dari pengalaman sebelumnya, biasanya dalam sidang perbaikan pemohon sudah memiliki objek hukum, jadi bisa saja nanti pemohon UU MD3 bisa dilanjutkan persidangannya kalau memang sudah memiliki wadah hukum," kata Fajar.

Permohonan uji materi yang diajukan oleh FJHK sudah diterima oleh Kepanitaan MK sejak Rabu (14/2) pada pukul 13.20 WIB, atau selang tiga hari setelah UU MD3 disahkan di DPR. Kuasa hukum FJHK Irmanputra Sidin sebelumnya menyampaikan UU MD3 ini perlu diuji karena dianggap melanggar hak konstitusional warga negara untuk mendapatkan perlakuan yang sama di hadapan hukum.

Salah satu hal yang menjadi perhatian FJHK adalah pemanggilan paksa terhadap masyarakat yang dinilai bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat dan prinsip DPR sebagai wakil rakyat. Pemanggilan paksa yang tercantum dalam Pasal 73 ayat (4) huruf b dan ayat (5) UU MD3 dinilai FJHK menjadikan masyarakat sebagai korban dari pemanggilan paksa.

Adapun, ketentuan Pasal 73 ayat (4) huruf b menyebutkan bahwa Polri wajib memenuhi permintaan DPR untuk memanggil paksa setiap orang yang tiga kali berturut-turut tanpa alasan yang sah tidak hadir dalam rapat DPR. Sementara Pasal 73 ayat (5) menyebutkan bahwa dalam menjalankan panggilan paksa tersebut Polri diperbolehkan menyandera setiap orang paling lama 30 hari.

"Jelas merugikan hak konstitusional para Pemohon yang merupakan warga negara, untuk dapat diperlakukan sama di hadapan hukum, hak untuk mendapatkan kemerdekaan mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan," kata Irman melalui pernyataan tertulisnya beberapa waktu lalu.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement