Selasa 27 Feb 2018 03:17 WIB

Desa Agats di Asmat Aman dari Dampak Gempa

Rumah di Asmat adalah rumah panggung yang tahan gempa.

Anak-anak beraktifitas sebelum mengikuti kegiatan belajar mengajar di SD YPPK Ewer, Agats, Kabupaten Asmat, Jumat (26/1).
Foto: Fitriyan Zamzami/ Republika
Anak-anak beraktifitas sebelum mengikuti kegiatan belajar mengajar di SD YPPK Ewer, Agats, Kabupaten Asmat, Jumat (26/1).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Desa Agats, Kabupaten Asmat, Papua Barat, yang sempat disorot karena kasus gizi buruk, relatif aman dari dampak gempa 7,4 pada Skala Richter (SR) yang melanda Bovendigul. "Sejauh ini kondisi di Desa Agat tempat kami berada relatif aman dari dampak gempa karena rumah di Asmat rumah panggung jadi tahan gempa. Tapi sempat khawatir terjadi tsunami karena gempanya keras sekali tadi pagi," ujar Direktur KAMMI Reaksi Cepat Liyuda Saputra saat dihubungi Antara dari Jakarta, Senin (26/2).

Hasil analisis BMKG menunjukkan bahwa gempa bumi berkekuatan M=7,4 (update) terjadi pada koordinat episenter 6,10 derajat Lintang Selatan (LS) dan 142,70 derajat Bujur Timur (BT), atau tepatnya berlokasi di darat pada jarak 266 km arah tenggara Kota Boven Digoel atau 450 km arah tenggara Kota Jayapura pada kedalaman 17 km.

Liyuda yang beberapa pekan terakhir berada di Desa Agats mengaku sejauh ini kondisi di desa itu lebih baik dari sebelumnya. Tak hanya ke Desa Agats, dia dan timnya juga mengunjungi desa lainnya seperti Desa Amanamkai, Desa Astj, Desa Peer, Desa Bou, dan Desa Uwus.

"Asmat itu bisa diartikan asal mau tahan karena hidup dengan mengandalkan air tadah hujan. Jika tak ada hujan, tak ada air bersih," tambah dia.

Lelaki yang akrab disapa Yuda itu juga menjelaskan persoalan gizi buruk di Asmat, lebih karena soal budaya. Orang Asmat punya kebiasaan soal makan, yang mana bapak sebagai pencari nafkah, akan makan lebih dulu dan didahulukan. Setelah bapak, lalu anak-anak dan terakhir ibunya. Ibu selalu dapat sisa dan paling sedikit, baik porsi maupun kualitas makanan.

"Jika penghasilan kecil, bahkan ibu tidak makan. Bayangkan jika si ibu dalam keadaan hamil, si ibu akan kurang gizi, terlebih anak yang dikandungnya kelak akan lahir sudah dalam kondisi kurang gizi. Selain itu gizi buruk juga terkait kebersihan, sulitnya air bersih, sanitasi dan sebagainya, termasuk pola hidup bersih," katanya.

Kedua, mereka juga tidak mengerti bagaimana ciri anak kurang gizi atau gizi buruk. Oleh karena itu, persoalan gizi buruk tidak bisa ditangani secara cepat.

"Harus perlahan dan perlu pendampingan jangka panjang. Kami di sini membawa paket makanan bergizi, paket kesehatan seperti paket hidup bersih, serta bermain dan mendongeng bersama anak," kata lulusan Teknik Elektro Universitas Sultan Ageng Tirtayasa itu.

Tantangan terberat dalam memberikan bantuan ke Asmat, kata Yuda, adalah medannya yang berat karena transportasi ke distrik (desa) itu sulit. "Paling dekat dari ibu kota Asmat yakni Desa Agats itu satu jam pakai kapal cepat. Ke desa lainnya yang terdampak bisa lima hingga enam jam pakai kapal cepat, kalau pakai longboat lebih lama dari itu semua itu dan lebih murah," terang dia.

 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement