Kamis 22 Feb 2018 13:19 WIB

Ambruknya Infrastruktur, Melonjaknya Utang Luar Negeri

Utang luar negeri bahkan tidak mampu mendongkrak pertumbuhan dan tenaga kerja.

Rep: Fuji Pratiwi, Binti Solikha, Rahayu Subekti/ Red: Elba Damhuri
Suasana kondisi tiang girder proyek pembangunan Tol Bekasi-Cawang-Kampung Melayu (Becakayu) yang ambruk di Jalan DI Panjaitan, Jakarta, Selasa (20/2).
Foto: Republika/Mahmud Muhyidin
Suasana kondisi tiang girder proyek pembangunan Tol Bekasi-Cawang-Kampung Melayu (Becakayu) yang ambruk di Jalan DI Panjaitan, Jakarta, Selasa (20/2).

REPUBLIKA.CO.ID, Akhirnya pemerintah memutuskan untuk memoratorium proyek pembangunan infrastruktur elevated (layang) di seluruh Indonesia. Keputusan ini diambil selepas rapat bersama Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno, dan Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi di kantor pusat Kementerian PUPR, Jakarta, Selasa (20/2).

Keputusan tersebut diambil agar kecermatan dan kedisiplinan proyek pembangunan infrastruktur elevated ke depan lebih baik. Apalagi, KPK juga sudah mencium gelagat ada unsur korupsi dalam pembangunan infrastruktur belakangan ini. Sementara dari sisi ekonomi, ambruknya proyek infrastruktur ini menyertai terus melonjaknya utang luar negeri Indonesia yang sebagian besar untuk kebutuhan infrastruktur.

Wakil Ketua KPK menyebut ada ada beberapa faktor penyebab ambruknya proyek infrastruktur. Untuk jangka pendek di antaranya ketidakmampuan mengelola tim, estimasi proyek, supplier tidak kompeten, rendahnya kontrol, dan tidak mampu menguasai proyek. Untuk jangka panjang terkait permasalahan keuangan, kesalahan estimasi, sistem pembayaran, ekonomi biaya tinggi atau korupsi, dukungan data yang kurang, urutan pekerjaan yang salah, dan koordinasi yang kurang

Berdasarkan data Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), dalam dua tahun terakhir terjadi 14 kecelakaan kerja infrastruktur pemerintah. Peristiwa terbaru terjadi dalam pembangunan tol Bekasi-Cawang-Kampung Melayu (Becakayu), Selasa (20/2) dini hari WIB. Hal itu yang membuat banyak anggota dewan mempertanyakan mengapa hal tersebut bisa terjadi.

Ketua Komisi IX DPR dari Fraksi Partai Demokrat Dede Yusuf akan memanggil Menteri PUPR dalam waktu dekat. Pemanggilan itu dilakukan untuk meminta penjelasan terkait banyaknya kecelakaan kerja dalam proyek pembangunan infrastruktur pemerintah di berbagai daerah di Indonesia

Utang luar negeri (ULN) Indonesia melonjak 10,1 persen. Pada kuartal IV 2017, utang luar negeri telah mencapai 352,2 miliar dolar AS atau setara Rp 4.757 triliun. Melonjaknya utang luar negeri dipengaruhi kenaikan utang di sektor publik dan swasta sejalan dengan kebutuhan pembiayaan untuk pembangunan infrastruktur dan kegiatan produktif lainnya.

Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia, Agusman, menjelaskan, utang luar negeri Indonesia masih terbilang aman. Alasannya, berdasarkan jangka waktu, struktur ULN Indonesia masih didominasi utang jangka panjang. Perinciannya, ULN berjangka panjang yang memiliki pangsa 86,1 persen dari total ULN dan pada akhir kuartal IV 2017 tumbuh 8,5 persen (yoy). "Sementara itu, ULN berjangka pendek tumbuh 20,7 persen (yoy)," ujarnya melalui siaran pers.

Menurut sektor ekonomi, kata dia, posisi ULN swasta pada akhir kuartal IV 2017 terutama dimiliki oleh sektor keuangan, industri pengolahan, listrik, gas, dan air bersih (LGA), serta pertambangan. Pertumbuhan ULN pada sektor keuangan, sektor industri pengolahan, dan sektor LGA meningkat dibandingkan dengan kuartal III 2017. Di sisi lain, ULN sektor pertambangan mengalami kontraksi pertumbuhan.

Agusman mengatakan, Bank Indonesia memandang perkembangan ULN pada kuartal IV 2017 masih terkendali. Rasio ULN Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada akhir kuartal IV 2017 tercatat stabil di kisaran 34 persen. Selain itu, rasio utang jangka pendek terhadap total ULN juga relatif stabil di kisaran 13 persen.

Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) mempertanyakan klaim peningkatan utang untuk kegiatan produktif. Sebab, sektor unggulan saat ini, infrastruktur, justru memiliki tingkat penyerapan tenaga kerja yang rendah.

Ekonom senior Indef, Dradjad H Wibowo menjelaskan, tambahan utang Indonesia banyak dipakai untuk sektor infrastruktur. Sementara penyerapan tenaga kerja di sektor itu rendah sekali. Artinya, tambahan utang yang akan membebani generasi ke depan belum produktif dari sisi penciptaan lapangan kerja.

Dari kajian Indef, selama tiga tahun periode pemerintahan yang dipimpin Joko Widodo dan Jusuf Kalla (2015-2017), tambahan penduduk bekerja sebanyak 134,6 ribu orang di tengah masifnya pembangunan infrastruktur.

Angka itu lebih rendah sekaligus lebih tinggi dibanding dua periode pemerintahan sebelumnya. Tambahan penduduk bekerja di sektor konstruksi pada tiga tahun pertama SBY-Boediono (2010-2012) sebanyak 483,6 ribu orang dan pada tiga tahun pertama SBY-JK (2005-2007) sebanyak 94,9 ribu orang.

Hal itu Dradjad nilai harus dikoreksi karena mengindikasikan ada yang salah dalam desain pembangunan Indonesia. ''Kalau klaimnya utang dipakai untuk ekonomi produktif, produktinya di mana?'' ungkap Drajad usai paparan kinerja penciptaan lapangan kerja tiga pemeritahan Indonesia di Kantor Indef pada Selasa (20/2).

Pembangunan infrastruktur yang banyak digenjot adalah jalan tol, tapi minim untuk fasilitas perkotaan seperti pembangunan gorong-gorong, trotoar, rusun, dan fasilitas publik yang banyak menyerap tenaga kerja. Padahal, kata dia, dana yang besar ke infrastruktur bisa dipakai untuk mendorong peningkatan tenaga kerja. Selain itu, dana bisa dialokasikan ke infrastruktur perdesaan yang bisa banyak penyerapan tenaga kerja.

Pada sisi lain, penambahan utang juga tidak banyak mendorong pertumbuhan ekonomi maupun daya beli masyarakat. Utang luar negeri yang menumpuk ini malah terus menggoyang stabilitas nilai tukar rupiah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement