Rabu 21 Feb 2018 08:03 WIB

Ini Pasal-Pasal Kontroversial UU MD3

Presiden kaget dengan perubahan UU MD3 dan belum menandatangani UU itu.

Rep: Debbie Sutrisno, Dessy Suciati Saputri/ Red: Elba Damhuri
Menkumham Yasonna H Laoly (kiri) bersiap mengikuti rapat kerja dengan Badan Legislasi terkait pengambilan keputusan revisi UU MD3 (MPR, DPR, DPD, DPRD) di kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (7/2) malam.
Foto: ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan
Menkumham Yasonna H Laoly (kiri) bersiap mengikuti rapat kerja dengan Badan Legislasi terkait pengambilan keputusan revisi UU MD3 (MPR, DPR, DPD, DPRD) di kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (7/2) malam.

REPUBLIKA.CO.ID, Presiden Joko Widodo kaget dengan perubahan Undang-Undang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (UU MD3). Presiden pun masih belum mau menandatangani UU itu.

Presiden Jokowi tidak menyangka ada banyak pasal tambahan dalam UU MD3 yang disahkan DPR. "Dari apa yang disampaikan, belum menandatangani dan kemungkinan tidak menandatangani," tutur Menkumham Yasonna Laoly di Istana Negara, Selasa (20/2).

Menurut Yasonna, banyak permasalahan yang ada di dalam UU MD3 saat ini. Sebab, ada sejumlah pasal yang dianggap tidak sesuai, seperti hak imunitas anggota DPR dan pasal penghinaan.

Selain itu, ada yang tak wajar dengan pasal pemanggilan paksa. Khusus untuk pasal pemanggilan paksa, pemerintah melihat kebijakan tersebut sebenarnya sudah ada dalam UU sebelumnya. Artinya, hanya tinggal mengatur ketentuan yang tepat dipadukan dengan peraturan kepolisian.

Berikut pasal-pasal kontroversial UU MD3:

Pasal 73:

Ayat (3): Dalam hal setiap orang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak hadir setelah dipanggil 3 kali berturut-turut tanpa alasan yang patut dan sah, DPR berhak melakukan panggilan paksa dengan menggunakan Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Ayat (4) b: Kepolisian Negara Republik Indonesia wajib memenuhi permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a.

Ayat (5): Dalam hal menjalankan panggilan paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b, Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menyandera setiap orang untuk paling lama 30 (tiga puluh) hari.

Pasal 122 huruf k: mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR;

Pasal 245:

Ayat (1): Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR sehubungan dengan terjadinya tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam pasal 224 harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan Dewan.

Ayat (2): Persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila anggota DPR:

a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana;

b. disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan bukti permulaan yang cukup; atau

c. disangka melakukan tindak pidana khusus.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement