Selasa 20 Feb 2018 05:17 WIB

Jokowi, Prabowo, dan Poros Politik Pilpres 2019

Poros Jusuf Kalla juga harus diperhitungkan karena cukup menentukan di Pilpres 2019.

Rep: Ronggo Astungkoro, Dessy Suciati Saputri/ Red: Elba Damhuri
Presiden Jokowi dan Prabowo Subianto berbincang di beranda belakang Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (17/11)
Foto: Halimatus Sa'diyah
Presiden Jokowi dan Prabowo Subianto berbincang di beranda belakang Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (17/11)

REPUBLIKA.CO.ID, Pemilihan umum presiden (Pilpres) 2019 masih jauh. Namun, diskusi dan survei tentang partai koalisi dan kandidat-kandidat yang akan bertarung terus berlangsung, dan semakin hangat.

Sejauh ini ada tiga kesimpulan mentah atas konstalasi menjelang Pilpres 2019 ini. Pertama, nama Joko Widodo dan Prabowo Subianto masih berada pada posisi teratas capres pilihan polling. Elektabilitas keduanya masih berada di posisi teratas dan kedua. Munculnya capres alternatif diprediksi masih sulit diwujudkan.

Kedua, poros koalisi parpol pengusung capres-cawapres diperkirakan mengerucut pada tiga pilihan. Ketiga, muncul poros baru dengan mengusung capres yang berbeda dari hasil polling lembaga-lembaga survei politik. Meski ini masih dinilai kecil peluangnya.

Lembaga surveri Poltracking Indonesia memprediksi pertarungan antara Jokowi dan Prabowo Subianto dalam Pilpres 2019 akan terulang. Meski, Poltracking mengakui masih terdapat skenario lain yang akan terjadi.

Direktur Eksekutif Poltracking Indonesia Hanta Yuda mengatakan, survei menunjukkan praktis hanya ada dua figur dengan elektabilitas dua digit sebagai capres 2019, yaitu Presiden pejawat Jokowi dan mantan rivalnya pada Pilpres 2014, Prabowo.

Tren dan jarak elektabilitas keduanya tak jauh berbeda dengan survei yang dilakukan Poltracking Indonesia sebelumnya, pada November 2017. Jarak elektabilitas mereka antara 20-25 persen, di mana elektabilitas Prabowo berkisar di angka 20-33 persen dan Jokowi 45-57 persen.

Di luar Jokowi dan Prabowo, Hanta menjelaskan, semua tokoh --baik elite politik lama seperti yang pernah tampil pada pemilu sebelumnya maupun tokoh baru yang muncul dalam dinamika elektoral tiga tahun terakhir-- tak bisa menyaingi. Mereka semua elektabilitasnya tak lebih dari lima persen.

Malah, Poltracking menilai jika Prabowo tidak maju, maka kekuatan Jokowi bisa 5-6 kali lipat dari calon lainnya. Kalau Prabowo maju, kekuatan Jokowi hanya berbeda di angka 20 persenan saja.

Berdasarkan data survei terbaru Poltracking, Hanta mengungkapkan tren elektabilitas Jokowi maupun Prabowo cenderung naik jika berkaca pada survei sebelumnya. Karena itu, kandidat calon presiden kuat hanyalah Jokowi dan Prabowo.

Meski demikian, ada hal yang perlu dicatat oleh Jokowi. Walau elektabiitas Jokowi jauh di atas Prabowo, tapi posisi itu masih belum aman bagi Jokowi sebagai capres inkamben. Dikarenakan elektabilitasnya masih di bawah 60 persen.

Sulitnya memunculkan tokoh alternatif seperti yang diprediksi survei Poltracking juga disampaikan pengamat politik Universitas Paramadina, Hendri Satrio. Ia menilai, nama Jokowi dan Prabowo masih memiliki elektabilitas yang tinggi untuk bertarung kembali pada Pilpres 2019.

Salah satu penghambat sulitnya mencari tokoh alternatif capres tersebut, jelas Hendri, yakni aturan pada Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7/2017 tentang Pemilihan Umum yang mengatur ambang batas pencalonan presiden. Hendri menyebut salah satu calon alternatif yang dapat disandingkan dengan Jokowi sebagai calon presiden yakni Gatot Nurmantyo dan Tuan Guru Bajang M Zainul Majdi.

Keduanya bisa muncul terus jika elektabilitasnya bagus. "Malah nanti bisa dipinang Pak Jokowi sebagai wakilnya, salah satu di antara mereka," kata Hendri.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement