Rabu 14 Feb 2018 14:49 WIB

Mahfud MD: DPR Mengacaukan Garis Ketatanegaraan

Permasalahan yang banyak terjadi di DPR adalah persoalan etik.

Rep: Debbie Sutrisno/ Red: Andri Saubani
Ketua DPR RI Bambang Soesatyo bersama dengan Anggota Dewan Pengarah Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP) Mahfud MD (kiri) memberikan keterangan kepada wartawan usai melakukan pertemuan di Ruang Pimpinan, Gedung Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (25/1).
Foto: Republika/Prayogi
Ketua DPR RI Bambang Soesatyo bersama dengan Anggota Dewan Pengarah Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP) Mahfud MD (kiri) memberikan keterangan kepada wartawan usai melakukan pertemuan di Ruang Pimpinan, Gedung Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (25/1).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar hukum Mahfud MD Ikut bersuara terkait dengan revisi Undang-undang tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD ( UU MD3). Menurutnya, keinginan DPR memasukan sejumlah pasal yang menguatkan posisi mereka sangat tidak layak.

"Ya memang begitu, DPR itu sudah mengacaukan garis-garis ketatanegaraan ya," kata Mahfud ditemui di kantor KSP, Rabu (14/1).

Mahfud menuturkan, permasalahan yang banyak terjadi di DPR adalah persoalan etik. Dan seharusnya etik tidak boleh dimasukkan dalam masalah hukum. Kalau DPR ingin ikut campur dalam penegakan hukum itu tidak diperbolehkan.

Baca: Pengkritik DPR Bisa Dipidana, Bamsoet: Untuk Jaga Wibawa DPR.

Dia mencontohkan, ketika ada orang yang menghina anggota DPR, tidak perlu masuk ke Dewan Etik. Karena, kata Mahfud, sudah ada aturan hukumnya dalam KUHP pidana tentang penghinaan dan mencermarkan nama pabik pejabat publik atau lembaga publik.

"Nah ini kan sudah ada hukumnya, kenapa dimasukkan bahwa MKD yang harus melapor dan melakukan proses hukum, itu sudah menjadi penegak hukum, padahal itu lembaga demokrasi, nah untuk menegakkan hukum itu ada lembaga nomokrasi, nah nomokrasi itu ada pengadilan, polisi, jaksa dan sebagainya," ujar Mafhud.

Terpisah, Wakil Ketua Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah Manager Nasution menilai, dua aturan antikritik lembaga eksekutif dan legislatif berpotensi membuat kemunduran demokrasi di Indonesia. Dua aturan tersebut adalah disahkannya RUU tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (RUU MD3) dan pasal penghinaan terhadap presiden.

Manager mengatakan, di parlemen UU MD3 yang telah disahkan, memasukkan pasal imunitas dan kewenangan lebih DPR mengkriminalisasi siapa saja pengkritik yang merendahkan parlemen. Di sisi lain, Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) yang akan disahkan membuka ruang pidana bagi pengkritik presiden juga sebagai pasal penghinaan presiden.

"Ini setali tiga uang proses kemunduran demokrasi kita, ketika kebebasan berpendapat dan kritik rakyat atas kinerja eksekutif dan legislatif tidak sesuai dengan keinginan masyarakat," kata mantan Komisioner Komnas HAM ini kepada wartawan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement