REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Koordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Sebastian Salang menegaskan tidak ada jalan lain bagi publik untuk menjaga nilai demokrasi selain menggugat Undang-Undang tentang MPR, DPR dan DPD (UU MD3). Jalan satu-satunya menggugat UU MD3 ke Mahkamah Konstitusi (MK) ini setelah DPR akhirnya mengesahkan revisi UU MD3 yang didalamnya memuat pasal imunitas Anggota DPR, kewenangan lebih MKD dan kewenangan panggil paksa oleh DPR.
"Ini Undang-Undang MD3 sudah telanjur disahkan, bila pasal-pasal ini diketahui saat proses pembahasan ceritanya bisa lain. Tapi karena sudah disahkan, pilihannya tidak ada jalan lain UU MD3 ini harus digugat ke Mahkamah Konstitusi," ujar Salang kepada wartawan, Selasa (13/2).
Karena bagaimanapun arah UU MD3 ini akan membungkam demokrasi. Hak warga masyarakat mengkritisi kinerja DPR sebab mereka dipilih oleh rakyat dan bekerja atas nama rakyat. Bila mereka Anggota DPR tidak bisa dikritisi oleh rakyat tentu akan merusak semangat demokrasi.
Baca: 'Citra DPR akan Makin Buruk Jika Pengkritik Dikriminalisasi'.
"Karena itu saya kira pilihan gugatan ke MK itu harus diambil untuk menjaga semangat demokrasi kita," kata dia.
Walaupun di sisi lain, diakui Salang, ada kekhawatiran lain soal independensi Ketua MK. Suara publik yang meminta Ketua MK segera mengundurkan diri karena terkesan sangat membela DPR. Dugaan ada negosiasi politik pun menguat karena pertemuan Ketua MK dan DPR. Ini akan menjadi tantangan tersendiri.
Tapi terlepas fakta pertemuan dan desakan mundur Ketua MK tersebut. Formappi menilai siapapun yang tidak setuju dengan pasal-pasal dalam UU MD3 ada jalurnya untuk menggugat aturan ini dengan judicial review di MK.