Senin 12 Feb 2018 19:11 WIB

Maxhavellar:Cermin Kegagalan Politik Etis dan Infrastruktur Era Kolonial

Multatuli
Foto: gahetna.nl
Multatuli

Museum Multatuli beberapa waktu lalu di Rangkasbitung baru saja diwujudkan. Semua orang tersenyum. Yang punya kepentingan ‘nyengir kuda’ bahagia. Semua mengaku inilah fakta sejarah. Jadi semuanya harus serba lestari demi kegemilangan: Entah masa depan, entah masa silam.

Tapi apakah semua paham Multatuli dengan kisah Maxhavellar (atau diterjemahkan oleh HB Jassin menjadi 'Saijah dan Adinda') itu malah mengguratkan kesan kekelaman masa penjajahan, khususnya ‘orang Banten’. Jawabnya itu tidak atau jarang yang tahu!

photo
Multatuli

Penulis novel itu adalah Eduard Douwes Dekker. Dia lahir di Amsterdam 2 Maret 1820, dan meninggal di Ingelheim, Jerman, pada 19 Februari 1887 dalam usia 66 tahun. Dia punya nama pena Multatuli yang menulis novel itu tahun 1860. Multatuli  katanya berakar dari bahasa Latin: multa tuli (banyak yang sudah aku derita). HB Jassin adalah orang Indonesia -- sekaligus paus sastra Indonesia -- yang menerjemahkan karya ini pertama kali. Bukunya berwarna biru dengan ada gambar seorang lelaki yang membawa kerbau di depan sebuah rumah yang reot. Jassin telah lama sekali menerjemankan buku ini. Tak banyak orang yang tahu dan baca.

Sekilas terkesan novel Multatuli berbahasa dengan mendayu-dayu. Ada gambaran 'Indonesia Mooi' (Indonesia indah) di sana. Selintas terkenang akan gunung-gunung, pematang sawah, hingga air pancuran dengan penduduknya yang ramah dan mengalah.

Tapi benarkah begitu? Ternyata sama sekali tidak. Isi bukunya dan jalinan ceritanya bagaikan tembakan meriam yang menghancurkan sasaran. Isinya menceritakan betapa menderitanya orang yang tinggal di pulau Jawa (pulau sentral kekuasaan kolonial Belanda) dan terutama wilayah Banten. Warga hidup serba memilukan. Penderitaan mereka tak terperi sehingga kemiskinan adalah dianggap sebagai penyakit turunan serta kewajaran.

Namun, meski miskin mereka juga tak ada tempat mengadu, termasuk itu lembaga hukum dan politik yang seharusnya melindunginya. Nasib Saijah sebagai seorang petani miskin akhirnya harus kehilangan segala harta miliknya karena mengadu kepada kekuasaan kolonial yang kejam, korup, dan tak berhati. Mulanya dia mengadukan hal remeh temeh, tapi akhirnya kehilangan semuanya, termasuk rumah, lahan sawah ladang,  dan kerbaunya yang merupakan milik satu-satunya. Sebuah potret dari Multatuli -- moyang dari Pahlawan Dauwes Dekker -- yang mengenaskan.

Suasana ini kemudian berhasil ditranser HB Jassin, dan di akhir tahun 90-an di bahasa lainkan oleh penyair WS Rendra dengan puisi yang sangat terkenal ‘Orang-Orang Rangkas Bitung’. Sama dengan Multatuli, WS Rendra menggambarkan sosok Saijah sebagai rakyat  sahaya yang hanya menjadi obyek penderita seonggok kekuasaan, yang bernama Adipati Rangkas Bitung. Rendra menulis puisi ini sebagai protes kekuasaan Orde Baru.

.....Rakyat ditindas oleh bupati mereka sendiri.

Petani hanya bisa berkeringat,

tidak bisa tertawa

dan hak pribadi diperkosa.

Demi kepentingan penjajahan,

Kerajaan Belanda bersekutu dengan kejahatan ini.

Sia-sia saya mencegahnya.

Kalah dan tidak berdaya...

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement